Malam ini, digemerlapan kota; aku merasa membuka mata. Bergumul bersama dosa-dosa. Syukurnya aku masih bersama "idea"ku.
Akal yang masih sangat sehat. Ya ini memang sebuah energi dahsyat dari Tuhan untuk manusia.
Belum lagi ditambah alat detektor, yakni kalbu. Kalbu menjadi "antivirus" atas apa yang dilakukan indra dan jasmaniah.
Malam ini, lewat ide dan indraku, ingin membuka sebuah catatan memori dalam otakku.
Pertama, tentang Musik dan Estetika. Kedua, tentang Kesalah-tafsiran Estetis. Menurutku, estetika bisa direlasikan dengan etis.
Baiklah, pertama dari sejarah kaum romantik yang datang sekitar tahun 1700an kira-kira (butuh referensi) bahwasanya mereka menganut faham ego, bagi mereka segala sesuatu itu mengandung kenikmatan atau keindahan. Mereka mengekspresikan segala sesuatu dengan emosi. Ya, emosi atas keindahan itu sendiri.
Sampai-sampai salah satu tokohnya pernah ditinggal mati kekasihnya dan ia pun menyusul dengan cara bunuh diri.
Aku rasa aku kurang begitu suka dengan para tokoh ini, meskipun aku sempat beberapa kali membaca dan aku memasukkannya dalam otakku.
itu tadi sekilas terkait estetis
Estetis adalah sesuatu yang indah atau segala sesuatu yang punya unsur keindahan.
Jika sejarah musik, aku dulu sempat diajari guruku, bahwasanya musisi klasik terdahulu adalag sebuah komunal yang nomaden. Hidup mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. aku lupa nama komunalnya.
Setelah aku membaca terkait estetika dan musik. Aku coba membuka teori Imam Al-Ghazali seorang Filsuf Islam sekaligus Ulama Tashawuf Islam. Ia membahas dalam bukunya Ihya Ulumuddin tentang Musik dan Al-Wajdu.
Aku lebih cenderung memakai pendapat Al-Ghazali mengenai Estetika-musik Al-Ghazali.
Katanya, bahwa segala sesuatu yang indah adalah juga turunan dari sifat Tuhan yang Indah. lalu, ia pun membuka tentang musik yang masuk dalam estetika.
Menurutnya, bahwa musik adalah sesuatu yang mampu menggerakkan yang dari dalam keluar.
Namun beliau mengecualikan musik itu.
Ia membaginya menjadi 2:
1. Musik yang mampu mendekatkan manusia pada Tuhannya
2. Musik yang mengeraskan Hati
Pada dasarnya menurut beliau, musik itu adalah suci. Lagi-lagi manusia yang membuat musik itu menjadi boleh, haram, atau makruh.
Menyambung judul diatas Estetika-etis yang aku maksud ialah:
" Segala sesuatu yang memiliki sifat keindahan sangat berhubungan dan akan menambah keindahan itu sendiri dengan nuansa etis yang ditambahkan."
Dalam hal ini Musik,
Seorang sufi, Jalaluddin Rumi memakai musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan ritual tari yang memutar.
Itu bukti bahwa musik tidak mengeraskan hati.
Namun aku juga menerima beberapa pandangan ulama yang hati-hati terkait musik. Hanya saja, diumur mudaku aku masih belum mampu mengaplikasikannya. Aku lebih memakai pendapat Imam Al Ghazali.
Semoga musik bukan lagi menjadi alat menuju kekerasan hati: seperti Free sex, Alcohol, dan semacamnya.
Bukannya alat itu tergantung yang memakainya?
Bandung, 06 Mei 2017
Refleksi Indriawiah
0 Comments