*SI BUTA DAN SI TUNA RUNGU BERTANYA: TAUHID ITU APA?*
Konflik horizontal yang berasal dari kehidupan nyata (realitas-eksis) yang terjadi kemarin, lalu direproduksi kembali oleh kehidupan sosio-teknologi (realitas-non-eksis) antara anggota BANSER NU (sebuah organisasi yang menjadi Badan Otonom NU di ranah kepemudaan) dengan kelompok yang menyistematisir kejadian pengibaran bendera HTI di dalam Upacara Hari Santri Nasional, di Garut (Hizbut Tahrir Indonesia; organisasi transnasional yang bercita-cita mendirikan sistem Khilafah Islamiyah), akhirnya meramaikan jagad nasional kita. Yakni, pembakaran Bendera HTI oleh beberapa orang anggota BANSER NU. Kejadian ini memunculkan kelompok ketiga, kelompok Naif. (Saya memberi nama kelompok Naif, karena kelompok ini sebetulnya membaca hanya dalam perspektif umum. Yakni pembakaran Kalimat Tauhid)
Saya mempunyai beberapa pendapat dan uraian secara analisis dan teoritik dari kejadian yang menimpa bangsa kita.
Pertama Analisis kejadian:
Analisis kejadian yang pertama kali jika melihat kejadiannya, bagi saya yang patut dipertanyakan paling awal adalah, kemana para Polisi yang memang dalam hal ini paling bertanggung jawab. Seharusnya di upacara HSN itu, yang memang berhak mengambil bendera HTI adalah Polisi. Tetapi, tak bisa disalahkan penuh pula, mungkin pada waktu itu pas sekali belum ada Polisi yang siaga di tempat Upacara, sehingga Banser dengan kesiagaannya menjaga sakralitas dan kondusifitas dari Apel HSN dengan sengaja mengamankan bendera tersebut lalu membakarnya. Selanjutnya masih melihat dari sisi Polisi; mengapa bisa terang-terangan Bendera yang dimiliki oleh organisasi yang jelas-jelas dilarang dan dibubarkan, masih bebas berkeliaran di khalayak umum. Tentu ketelitian dan kewaspadaan Polisi dipertanyakan sebagai Institusi (yang berhak represif) atas masih berkeliarannya simbol-simbol organisasi terlarang. Padahal, simbol bendera HTI karena sudah dilarang, maka secara otomatis sama seperti simbol atau bendera PKI yang sama dilarang di Republik ini. Seandainya itu bendera PKI, yang dikibarkan, pasti banyak fitnah yang digencarkan, dan BANSER NU mendapat pujian dari orang banyak. Masyarakat awampun pasti sudah lebih ramai membicarakannya. Ini berarti kita belum sadar bahwa HTI-PKI sama-sama dilarang keberadaannya di Tanah Air kita tercinta, Indonesia. Parahnya, bukan hanya simbolnya, tokoh-tokohnya masih bebas memberikan padangan-pandangannya (sambil menyebarkan fahamnya); seperti Felix Siauw Tokoh HTI yang videonya beredar mengatakan: "(2019)Indonesia harus ganti Presiden, dan ganti sistem". Katanya. Bukankah penyebaran Ideologi itu akan terus subur, kalau tokoh-tokohnya masih bernafas lega. Dalam hal ini, Pemerintah harus membuat dan mengatur hukum yang tegas dan lugas mengenai HTI-BENDERA-TOKOH, kalau memang ingin kejadian seperti ini tak terulang lagi.
Kedua, sudut kepolisian yang selanjutnya. Menurut pemeriksaan Polisi dalam berita yang tertuang di media Nasional, bahwa tidak terbukti BANSER melakukan pembakaran kalimat Tauhid. Karena yang Banser persepsikan pada waktu itu adalah membakar bendera HTI yang telah dilarang keberadaannya. Ini artinya, selepas pemeriksaan dan klarifikasi Polisi; Polisi harus berani mengumumkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, bahwa ini (yang dibakar BANSER) adalah bendera HTI dengan bukti, simbol-simbol itu ada di, misalnya Sekretariat HTI, acara-acar HTI, dan yang paling penting AD/ART HTI. Pasti di sana akan terkuak. Dengan cara memberikan pengetahuan pada masyarakat, masyarakat akan mengetahui ini, jadi, ada pola komunikasi hukum dan kemenjagaan bersama Republik Indonesia dari rongrongan organisasi yang menghancurkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan NKRI. Akhirnya, bentukan untuk menentukan hukum menjadi kuat, karena ada alasan sosiologis (selain aspek filosofis dan yuridis).
Tulisan ini, saya beri judul dengan agak filosofis. Ini agar menjadi bahan refleksi bersama atas kejadian ini. Sebab, sangat sedikit orang yang (mampu) belajar dari segala fenomena yang terjadi.
SI BUTA dan SI TUNA RUNGU bertanya: APAKAH TAUHID ITU?
Dalam Kamus Besar Bahasan Indonesia (KBBI) Tauhid dimaknai dengan arti "Keesaan Allah". Selanjutnya, ditinjau dari perspektif Islam. Dalam jurnal, tulisan Prof. Dr. KH. Aqil Sirodj, menyebutkan bahwa secara etimologi kata Tauhid adalah masdar dari kata wahhad-yuwahhid-tauhid, yang berarti "mengesakan", maksudnya adalah keyakinan bahwa Allah SWT Esa, Tunggal atau Satu.
Hassan Hanafi, lebih dalam mendefinisikan Tauhid. Menurutnya, apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah Dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (Fi'li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (ithbat). Sebab, apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit. Sedangkan lebih dalam lagi, kalangan Sufi memberikan keterangan mengenai Tauhid. Tauhid bagi kaum sufi tidak hanya bersifat verbal dan teoritik, sebagaimana pendapat Abi Said bin Abi al-Khayr, seorang sufi dari Khurasan " Dengan hanya pengakuan seperti itu (tauhid verbal), sebagian besar manusia belum meyakini keesaan Tuhan. Mereka masih disebut politeis. Pengakuan seperti itu hanya di lidah saja, sementara hatinya masih diselimuti perasaan shirik." Imam Junaid Al-Baghdadi mengatakan bahwa Tauhid (yang paling tertinggi; Kondisi tauhid yang tertinggi) ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membuat dirinya fana>’ dari dirinya sendiri dan dari seruan makhluq kepadanya, dengan sirnanya perasaan dan gerakannya akibat apa yang dia kehendaki telah dikendalikan oleh al-Haqq. Begitu kiranya apa yang diungkapkan para Ulama melalui jurnal yang ditulis oleh Prof Dr. KH. Said Aqil Sirodj.
Fenomena yang terjadi (sekarang) ini menurut saya terdapat miss-komunikasi antara kaum Naif, dengan apa yang dilakukan Banser. BANSER mengatakan, bahwa yang dibakarnya adalah bendera HTI, organisasi terlarang, yang ketika ada simbol-simbolnya, maka itu termasuk bagiannya (seperti pintu atau jendela, yang menjadi bagian dari rumah). Maka yang dilakukan Banser adalah membakar simbol pemberontakan ini. Tetapi kalangan Naif, mempersepsikan bahwa simbol HTI yang di sana ada kalimat Tauhid, menjadi pembakaran atas Kalimat Tauhid. Hal ini yang menurut hemat saya, menimbulkan jurang perbedaan dan awal kekisruhan. HTI dengan kekacauan logika komunikasi ini, kemudian memanfaatkan keselamatan diri untuk berlindung di balik kalimat Tauhid yang dipersepsikan kaum Naif sebagai yang dibakar (dihina, dinista) oleh Banser. Agaknya memang telah saya sebutkan di atas, bahwa yang mampu menyambungkan logika komunikasi (logika komunikasi adalah "kesamaan persepsi"/ berasal dari kata communist yang berarti sama dan to communicate, yang berarti untuk menyamakan" sebagaimana yang ada dalam buku Komunikasi: Perspektif, Ragam, Aplikasi yang ditulis oleh Syaiful Rohim) ialah para penegak hukum. Sehingga kisruh oleh sebab perbedaan persepsi ini bisa segera diselesaikan tanpa ada konflik berkepanjangan yang dapat menghasilkan produktivitas sosial menurun. Tentu dengan terjadinya ini, antara yang sepakat dengan Banser dan bersepakat dengan kaum Naif dalam kehidupan akan terganggu, bisa terjadi saling tidak menyapa, bahayanya kalau itu terjadi di dalam keluarga, atau komunikasi antara guru dengan murid.
Sesungguhnya, para kaum Naif berpandangan bahwa itu adalah bagian dari pembelaannya terhadap Tauhid. Padahal dalam definisi tentang Tauhid sendiri, secara sederhana adalah bagaimana kita mengakui, melaksanakan bahwa memang segala tujuan hidup kita semata-mata karena Allah, bukan surga, bukan neraka, apalagi kedudukan.
Hari ini, kita, dalam kehidupan sosial-religius, ada semacam gejala yang bernama "desakralisasi". HTI yang paling bertanggung jawab atas desakralisasi yang terjadi, yang ada hubungannya dengan problem tersebut.
Menurut Emile Durkheim seorang sosiolog yang membahas agama dalam perspektif sosiologi, dalam bukunya, The Elementary Forms of The Religious Life, mengemukakan, bahwa, ada dua hal yang mendasar, yang ada di Agama, baik itu agama klasik atau modern (Yahudi, Kristen, Islam); Dua hal yang mendasar itu adalah sesuatu yang sakral dan yang profan. Sakral, bisa diartikan sebagai seuatu yang metafisik, dan magis. Sedangkan Profan adalah bentuk lahiriah, semisal simbol-simbol agama, dan tempat ibadah.
Ketauhidan menurut definisi di atas adalah konsepsi metafisik yang kemudian lahir menjadi laku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertentangan dengan apa yang terjadi pada kaum Naif. Yakni mendesakralisasi sebuah kalimat Tauhid, yang pada esensinya Tauhid adalah di luar fisik, dan menjadi perilaku. Desakralisasi ini dalam pendapat Durkheim, adalah tambahan-tambahan dari sesuatu yang profan. Yang profan lambat-laun akan bertumbuh menjadi sakral. Agaknya, kaum fundamentalis Islam yang direpresentasikan HTI, oleh benderanya memang menyusun propaganda yang mengakibatkan wajah dunia mendesakralisasi dan memprofan-kan hal yang seharusnya di luar sakralitas. Terlebih kalau kita melihat apa yang dikemukakan kaum Sufi dalam mendefinisikan Tauhidnya, upaya menuju sakralitas tertinggi, bahkan yang profan ini hilang menjadi yang sakral. Itu terimplementasi dalam pemaknaan, bahwa segala pergerakan dilakukan oleh "Yang Maha Segalanya". Sakral dan Profan yang dikemukakan ini adalah analisis sosiologis tentang Agama.
Kalimat Tauhid yang disakralkan, hari ini justru di-desakralisasi oleh HTI karena ditulis dalam benderanya, ada di baju, ada di topi, yang sewaktu-waktu, akan jatuh ke tanah, terkena najis, dan hal-hal yang dapat menjadikan Kalimah Tauhid justru tidak sakral lagi. Artinya, fenomena hari ini sesungguhnya dimainkan oleh aktor-aktir HTI atau Pro-HTI yang justru memutarbalikkan fakta bahwa Banser-lah yang tidak memuliakan Kalimah Tauhid. Kalau mau lebih dalam lagi, bahwa bertauhidnya seorang manusia, yang mengetahui benar dia bertauhid atau tidak, tentu hanya yang Maha diTauhidkan, yang Maha diEsakan. Itulah, mengutip kata-kata bung Karno yang menyebut faham dan kaum model seperti ini sebagai "Islam Sontoloyo". Muslim yang memakai fikih secara dogmatis, sehingga buta akan realitas, buta akan horizon, ruang-waktu, di mana Agama dan praktiknya dilaksanakan.
Kita yang pernah belajar tentu belajar dalam konsep berfikir "Al 'Adah Muhakkamah" atau yang dikemukakan KH. Said Aqil Sirodj dalam buku Islam Aswaja (Annahdliyyah), "Al muhafazhoru ala al qadim al shalih, Wal Iyjad bi al jadid al ashlah".
Kiranya, apa yang menimpa Umat Islam Indonesia hari ini memgandung hikmah yang bisa dipelajari dalam hidup beragama berbangsa dan bernegara. Karena Nabi SAW pernah bersabda: "Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi).
Terpenting tulisan ini adalah bentuk mendakwahi diri penulis sendiri yang masih dalam tahap belajar. Jikapun tulisan ini bisa menjadi penerang, yang menerangi tentu yang memantulkan cahaya, Sang Pemilik Cahaya.
Semoga senantiasa kita kembali pada tujuan Nabi SAW diutus yakni menjadi Rahmatan Lil 'Alamin. Rahmat atau Kasih sayang bagi seluruh Alam semesta. Bukan hanya sesama Muslim, tapi juga non-muslim, bukan hanya dengan non-muslim, tapi juga dengan lingkungan hidup, yakni pohon, binatang, sungai, yang hari ini manusia anggap sebagai sesuatu yang mati, padahal dari sanalah ada kehidupan manusia.
Judul tulisan ini adalah upaya penyadaran bahwa Tauhid harus mampu hadir pada siapapun. Seandainya kita membatasi kalimah Tauhid hanya pada tulisannya, tentu orang buta tak pernah Tahu, atau pada pelafalannya, tentu orang Tuna Rungu tak mampu. Bukankah ketauhidan itu adalah untuk semua manusia. Dan jangan direduksi hanya kepada pembelaan terhadap kalimahnya, tapi lupa dalam pemaknaan dan aplikasinya.
Ihdinash-shiratal mustaqiem
*Wallahu A'lam*
Fajar Chaidir Qurrota A'yun
*PMII Kabupaten Bekasi*
Bekasi, Kamis, 25 Oktober 2018
Saya mempunyai beberapa pendapat dan uraian secara analisis dan teoritik dari kejadian yang menimpa bangsa kita.
Pertama Analisis kejadian:
Analisis kejadian yang pertama kali jika melihat kejadiannya, bagi saya yang patut dipertanyakan paling awal adalah, kemana para Polisi yang memang dalam hal ini paling bertanggung jawab. Seharusnya di upacara HSN itu, yang memang berhak mengambil bendera HTI adalah Polisi. Tetapi, tak bisa disalahkan penuh pula, mungkin pada waktu itu pas sekali belum ada Polisi yang siaga di tempat Upacara, sehingga Banser dengan kesiagaannya menjaga sakralitas dan kondusifitas dari Apel HSN dengan sengaja mengamankan bendera tersebut lalu membakarnya. Selanjutnya masih melihat dari sisi Polisi; mengapa bisa terang-terangan Bendera yang dimiliki oleh organisasi yang jelas-jelas dilarang dan dibubarkan, masih bebas berkeliaran di khalayak umum. Tentu ketelitian dan kewaspadaan Polisi dipertanyakan sebagai Institusi (yang berhak represif) atas masih berkeliarannya simbol-simbol organisasi terlarang. Padahal, simbol bendera HTI karena sudah dilarang, maka secara otomatis sama seperti simbol atau bendera PKI yang sama dilarang di Republik ini. Seandainya itu bendera PKI, yang dikibarkan, pasti banyak fitnah yang digencarkan, dan BANSER NU mendapat pujian dari orang banyak. Masyarakat awampun pasti sudah lebih ramai membicarakannya. Ini berarti kita belum sadar bahwa HTI-PKI sama-sama dilarang keberadaannya di Tanah Air kita tercinta, Indonesia. Parahnya, bukan hanya simbolnya, tokoh-tokohnya masih bebas memberikan padangan-pandangannya (sambil menyebarkan fahamnya); seperti Felix Siauw Tokoh HTI yang videonya beredar mengatakan: "(2019)Indonesia harus ganti Presiden, dan ganti sistem". Katanya. Bukankah penyebaran Ideologi itu akan terus subur, kalau tokoh-tokohnya masih bernafas lega. Dalam hal ini, Pemerintah harus membuat dan mengatur hukum yang tegas dan lugas mengenai HTI-BENDERA-TOKOH, kalau memang ingin kejadian seperti ini tak terulang lagi.
Kedua, sudut kepolisian yang selanjutnya. Menurut pemeriksaan Polisi dalam berita yang tertuang di media Nasional, bahwa tidak terbukti BANSER melakukan pembakaran kalimat Tauhid. Karena yang Banser persepsikan pada waktu itu adalah membakar bendera HTI yang telah dilarang keberadaannya. Ini artinya, selepas pemeriksaan dan klarifikasi Polisi; Polisi harus berani mengumumkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, bahwa ini (yang dibakar BANSER) adalah bendera HTI dengan bukti, simbol-simbol itu ada di, misalnya Sekretariat HTI, acara-acar HTI, dan yang paling penting AD/ART HTI. Pasti di sana akan terkuak. Dengan cara memberikan pengetahuan pada masyarakat, masyarakat akan mengetahui ini, jadi, ada pola komunikasi hukum dan kemenjagaan bersama Republik Indonesia dari rongrongan organisasi yang menghancurkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan NKRI. Akhirnya, bentukan untuk menentukan hukum menjadi kuat, karena ada alasan sosiologis (selain aspek filosofis dan yuridis).
Tulisan ini, saya beri judul dengan agak filosofis. Ini agar menjadi bahan refleksi bersama atas kejadian ini. Sebab, sangat sedikit orang yang (mampu) belajar dari segala fenomena yang terjadi.
SI BUTA dan SI TUNA RUNGU bertanya: APAKAH TAUHID ITU?
Dalam Kamus Besar Bahasan Indonesia (KBBI) Tauhid dimaknai dengan arti "Keesaan Allah". Selanjutnya, ditinjau dari perspektif Islam. Dalam jurnal, tulisan Prof. Dr. KH. Aqil Sirodj, menyebutkan bahwa secara etimologi kata Tauhid adalah masdar dari kata wahhad-yuwahhid-tauhid, yang berarti "mengesakan", maksudnya adalah keyakinan bahwa Allah SWT Esa, Tunggal atau Satu.
Hassan Hanafi, lebih dalam mendefinisikan Tauhid. Menurutnya, apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah Dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (Fi'li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (ithbat). Sebab, apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit. Sedangkan lebih dalam lagi, kalangan Sufi memberikan keterangan mengenai Tauhid. Tauhid bagi kaum sufi tidak hanya bersifat verbal dan teoritik, sebagaimana pendapat Abi Said bin Abi al-Khayr, seorang sufi dari Khurasan " Dengan hanya pengakuan seperti itu (tauhid verbal), sebagian besar manusia belum meyakini keesaan Tuhan. Mereka masih disebut politeis. Pengakuan seperti itu hanya di lidah saja, sementara hatinya masih diselimuti perasaan shirik." Imam Junaid Al-Baghdadi mengatakan bahwa Tauhid (yang paling tertinggi; Kondisi tauhid yang tertinggi) ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membuat dirinya fana>’ dari dirinya sendiri dan dari seruan makhluq kepadanya, dengan sirnanya perasaan dan gerakannya akibat apa yang dia kehendaki telah dikendalikan oleh al-Haqq. Begitu kiranya apa yang diungkapkan para Ulama melalui jurnal yang ditulis oleh Prof Dr. KH. Said Aqil Sirodj.
Fenomena yang terjadi (sekarang) ini menurut saya terdapat miss-komunikasi antara kaum Naif, dengan apa yang dilakukan Banser. BANSER mengatakan, bahwa yang dibakarnya adalah bendera HTI, organisasi terlarang, yang ketika ada simbol-simbolnya, maka itu termasuk bagiannya (seperti pintu atau jendela, yang menjadi bagian dari rumah). Maka yang dilakukan Banser adalah membakar simbol pemberontakan ini. Tetapi kalangan Naif, mempersepsikan bahwa simbol HTI yang di sana ada kalimat Tauhid, menjadi pembakaran atas Kalimat Tauhid. Hal ini yang menurut hemat saya, menimbulkan jurang perbedaan dan awal kekisruhan. HTI dengan kekacauan logika komunikasi ini, kemudian memanfaatkan keselamatan diri untuk berlindung di balik kalimat Tauhid yang dipersepsikan kaum Naif sebagai yang dibakar (dihina, dinista) oleh Banser. Agaknya memang telah saya sebutkan di atas, bahwa yang mampu menyambungkan logika komunikasi (logika komunikasi adalah "kesamaan persepsi"/ berasal dari kata communist yang berarti sama dan to communicate, yang berarti untuk menyamakan" sebagaimana yang ada dalam buku Komunikasi: Perspektif, Ragam, Aplikasi yang ditulis oleh Syaiful Rohim) ialah para penegak hukum. Sehingga kisruh oleh sebab perbedaan persepsi ini bisa segera diselesaikan tanpa ada konflik berkepanjangan yang dapat menghasilkan produktivitas sosial menurun. Tentu dengan terjadinya ini, antara yang sepakat dengan Banser dan bersepakat dengan kaum Naif dalam kehidupan akan terganggu, bisa terjadi saling tidak menyapa, bahayanya kalau itu terjadi di dalam keluarga, atau komunikasi antara guru dengan murid.
Sesungguhnya, para kaum Naif berpandangan bahwa itu adalah bagian dari pembelaannya terhadap Tauhid. Padahal dalam definisi tentang Tauhid sendiri, secara sederhana adalah bagaimana kita mengakui, melaksanakan bahwa memang segala tujuan hidup kita semata-mata karena Allah, bukan surga, bukan neraka, apalagi kedudukan.
Hari ini, kita, dalam kehidupan sosial-religius, ada semacam gejala yang bernama "desakralisasi". HTI yang paling bertanggung jawab atas desakralisasi yang terjadi, yang ada hubungannya dengan problem tersebut.
Menurut Emile Durkheim seorang sosiolog yang membahas agama dalam perspektif sosiologi, dalam bukunya, The Elementary Forms of The Religious Life, mengemukakan, bahwa, ada dua hal yang mendasar, yang ada di Agama, baik itu agama klasik atau modern (Yahudi, Kristen, Islam); Dua hal yang mendasar itu adalah sesuatu yang sakral dan yang profan. Sakral, bisa diartikan sebagai seuatu yang metafisik, dan magis. Sedangkan Profan adalah bentuk lahiriah, semisal simbol-simbol agama, dan tempat ibadah.
Ketauhidan menurut definisi di atas adalah konsepsi metafisik yang kemudian lahir menjadi laku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertentangan dengan apa yang terjadi pada kaum Naif. Yakni mendesakralisasi sebuah kalimat Tauhid, yang pada esensinya Tauhid adalah di luar fisik, dan menjadi perilaku. Desakralisasi ini dalam pendapat Durkheim, adalah tambahan-tambahan dari sesuatu yang profan. Yang profan lambat-laun akan bertumbuh menjadi sakral. Agaknya, kaum fundamentalis Islam yang direpresentasikan HTI, oleh benderanya memang menyusun propaganda yang mengakibatkan wajah dunia mendesakralisasi dan memprofan-kan hal yang seharusnya di luar sakralitas. Terlebih kalau kita melihat apa yang dikemukakan kaum Sufi dalam mendefinisikan Tauhidnya, upaya menuju sakralitas tertinggi, bahkan yang profan ini hilang menjadi yang sakral. Itu terimplementasi dalam pemaknaan, bahwa segala pergerakan dilakukan oleh "Yang Maha Segalanya". Sakral dan Profan yang dikemukakan ini adalah analisis sosiologis tentang Agama.
Kalimat Tauhid yang disakralkan, hari ini justru di-desakralisasi oleh HTI karena ditulis dalam benderanya, ada di baju, ada di topi, yang sewaktu-waktu, akan jatuh ke tanah, terkena najis, dan hal-hal yang dapat menjadikan Kalimah Tauhid justru tidak sakral lagi. Artinya, fenomena hari ini sesungguhnya dimainkan oleh aktor-aktir HTI atau Pro-HTI yang justru memutarbalikkan fakta bahwa Banser-lah yang tidak memuliakan Kalimah Tauhid. Kalau mau lebih dalam lagi, bahwa bertauhidnya seorang manusia, yang mengetahui benar dia bertauhid atau tidak, tentu hanya yang Maha diTauhidkan, yang Maha diEsakan. Itulah, mengutip kata-kata bung Karno yang menyebut faham dan kaum model seperti ini sebagai "Islam Sontoloyo". Muslim yang memakai fikih secara dogmatis, sehingga buta akan realitas, buta akan horizon, ruang-waktu, di mana Agama dan praktiknya dilaksanakan.
Kita yang pernah belajar tentu belajar dalam konsep berfikir "Al 'Adah Muhakkamah" atau yang dikemukakan KH. Said Aqil Sirodj dalam buku Islam Aswaja (Annahdliyyah), "Al muhafazhoru ala al qadim al shalih, Wal Iyjad bi al jadid al ashlah".
Kiranya, apa yang menimpa Umat Islam Indonesia hari ini memgandung hikmah yang bisa dipelajari dalam hidup beragama berbangsa dan bernegara. Karena Nabi SAW pernah bersabda: "Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi).
Terpenting tulisan ini adalah bentuk mendakwahi diri penulis sendiri yang masih dalam tahap belajar. Jikapun tulisan ini bisa menjadi penerang, yang menerangi tentu yang memantulkan cahaya, Sang Pemilik Cahaya.
Semoga senantiasa kita kembali pada tujuan Nabi SAW diutus yakni menjadi Rahmatan Lil 'Alamin. Rahmat atau Kasih sayang bagi seluruh Alam semesta. Bukan hanya sesama Muslim, tapi juga non-muslim, bukan hanya dengan non-muslim, tapi juga dengan lingkungan hidup, yakni pohon, binatang, sungai, yang hari ini manusia anggap sebagai sesuatu yang mati, padahal dari sanalah ada kehidupan manusia.
Judul tulisan ini adalah upaya penyadaran bahwa Tauhid harus mampu hadir pada siapapun. Seandainya kita membatasi kalimah Tauhid hanya pada tulisannya, tentu orang buta tak pernah Tahu, atau pada pelafalannya, tentu orang Tuna Rungu tak mampu. Bukankah ketauhidan itu adalah untuk semua manusia. Dan jangan direduksi hanya kepada pembelaan terhadap kalimahnya, tapi lupa dalam pemaknaan dan aplikasinya.
Ihdinash-shiratal mustaqiem
*Wallahu A'lam*
Fajar Chaidir Qurrota A'yun
*PMII Kabupaten Bekasi*
Bekasi, Kamis, 25 Oktober 2018
0 Comments