*BUPATI BEKASI: MELIHATNYA DARI BERBAGAI SISI DAN TEORI*
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan resmi menahan Bupati Bekasi, Ibu dr. Hj. Neneng Hasanah Yasin, dan beberapa Kepala Dinas (dan mantan) dikarenakan menerima "fee" atas perizinan proyek besar, Meikarta. Hal itulah yang kemudian diidentifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi, maka konsekuensi hukum yang kini dijalani Bupati Bekasi, sesuai dengan perbuatannya seperti yang disebut di atas, di-non-aktifkan dari jabatannya, bahkan partainya, diinformasikan media lokal, juga akan menonaktifkan, sesuai dengan perjanjian antar anggota partai dengan partai.
Sebuah fenomena "partikulat" (halus, kecil) korupsi yang terjadi di dalam kehidupan sosial-politik negara kita, Indonesia. Korupsi bisa mungkin terjadi (dalam kenyataan kehidupan sehari-hari) dari level Pemerintah Desa sampai (mungkin) Menteri, bahkan seorang Presiden sekalipun, sangat berpotensi melakukan laku Korupsi. Bukan hanya kalangan Pejabat, Birokrat, Teknokrat, Pengusaha; kita bahkan, tidak pernah terlepas secara hakikat dari perilaku korupsi. Pertanyaan mendasarnya kemudian muncul, mengapa manusia melakukan laku Korupsi dalam kehidupan sehari-hari?
Menurut tafsiran para Ahli dan dari Undang-undang (hukum), korupsi diartikan sebagai berikut: "Nurdjana (1990) Korupsi berasal dari bahasa Yunani yaitu “corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum." Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2001: "Pengertian Korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara" Dan menurut UU No 24 Tahun 1960: " Korupsi adalah perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan."
Cukup sudah untuk mendifinisikan korupsi. Ternyata dalam kehidupan kita sehari-hari, masih termasuk dalam konteks "korupsi" yang disebutkan Ahli di atas.
Sementara, kalau kita mau melihat korupsi dalam kehidupan politik (praktis), korupsi dalam nyatanya, sangat sulit dihindari. Mulai dari istilah-istilah, "uang pelicin", "uang rokok", bahkan dalam pesta demokrasi, setiap pemilih seringkali menerima "uang es atau uang bensin" untuk datang ke TPS. Hal ini boleh saja ditentang oleh siapapun. Tapi siapapun tak boleh menodai kebenaran faktual. Menurut sudut pandang Filsafat, dalam bukunya, Louis O Katssof, berjudul Element Of Philosophy, seorang Guru Besar Universitas Caroline USA, menyatakan ada beberapa Theory Of Truth (teori kebenaran) yang bisa dipertanggungjawabkan sesuai konteksnga masing-masing. Dalam hali ini, kebenaran akan laku Korupsi, menyambung narasi di atas, adalah kebenaran Koherensi. Sesuatu kebenaran yang sah, apabila ada konsistensi antara teori dan kenyataannya. Lalu bisa dijustifikasi bahwa hal itu memang benar. Lagi-lagi kehidupan kita tidak terlepas dari perilaku korupsi, dan itu benar menurut sudut pandang Filsafat yang membahas teori tentang kebenaran. Itulah tadi disebutkan, boleh saja setiap orang mengelak atas ini. Tapi setiap orang tak boleh menodai kebenaran faktual yang disebutkan tadi.
Namun, jangan khawatir, karena laku korupsi ini, kita bisa mengelak sekaligus kembali lagi dalam Fitrah, bahwa yang sebenar-benarnya benar, adalah Sang Maha Benar. Manusia di luar kekuatannya untuk bisa menjadi benar yang sebenar-benarnya benar.
Saat semua orang membicarakan kelemahan dari seorang manusia maka ada hal yang harus dibedakan. Ada lemah yang memang sifat dasar manusia, yakni salah dan lupa. Seperti dalam pepatah Arab, "Al-insan mahalul al khotho wa annisyan" (manusia tak lepas dari salah dan lupa). Ini yang tidak bisa dihindari oleh manusia manapun, termasuk Nabi. Walaupun para Nabi dan Rasul dijaga oleh Tuhan dari kesalahan dan dosa-dosa.
Begitu pula yang terjadi pada Bupati Bekasi, Ibu Neneng Hasanah Yasin, kita semua sepakat bahwa "tindakan" atau "perilaku" yang beliau lakukan adalah kesalahan fatal yang merugikan dirinya dan orang banyak. Kesalahan dalam konteks ini adalah sebuah hal yang ada di luar kendali dirinya yang, hal itu didorong karena sifat dasar manusia. Kita menyalahkan lakunya, bukan Ibu Neneng sebagai manusia. Maka, kejadian yang menimpa Bupati Bekasi, itu hal yang menyenangkan, bahwasanya Tindak Pidana Korupsi kini terbongkar. Kita pula cukup berpuas hati oleh kinerja KPK, yang masih konsisten memberangus perilaku korupsi yang merugikan negara. Tapi, kita tidak boleh mengalienasi Ibu Neneng Hasanah Yasin, karena dasar dari sifat manusia adalah "salah" dan "lupa". Yang patut kita salahkan cukup perilaku korupsinya, selain itu beliau tetap kita anggap Manusia dengan sifat yang sama pada setiap manusia.
Jika dilihat dari perspektif sebuah Negara dalam salah satu "magnum opus" Plato, sang Filosuf terkemuka zaman Klasik Yunani. Murid Sokrates. Bahkan dia menggunakan mulut sokrates dalam bukunya yang bercorak dialog. Sekaligus pendiri Akademi pertama. Yang disebut Akademi Plato pada masa itu.
Plato, sebagaimana dikutip Karl Raimund Popper dalam bukunya "Open Society and Its Enemies" (masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya), bahwa Negara akan berkembang melalui beberapa tahap. Analisis ini, kita bisa gunakan untuk melihat realitas pemerintah dan masyarakat, dari tingkat daerah sampai nasional, meskipun teori ini adalah termasuk teori klasik.
Perkembangan masyarakat menurut Plato, karena adanya perselisihan Internal atau perang (antar) kelas yang digerakkan oleh kepentingan pribadi, terutama oleh kepentingan pribadi yang bersifat material dan ekonomis, adalah kekuatan utama "dinamika sosial". Teori ini adalah teori historisisme Plato, yang kemudian diadopsi oleh Karl Heinrich Marx, Filosuf sosialis Jerman.
Sementara dalam Negara, menurut Plato, akan mengalami 4 Periode "degenerasi politik". Pertama, ada pemerintahan Timokrasi, yakni pemerintahan yang dijalankan oleh para bangsawan yang mencari kemasyhuran dan kehormatan. Fase kedua, adalah Oligarki,pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga-keluarga kaya. Ketiga, fase Demokrasi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh kebebasan. Terakhir, adalah fase pemerintahan Tirani, yang dipimpin satu orang.
Melalui perkembangan ini, kita bisa melihat, bahwa pemerintahan yang hari ini ada di depan mata kita, apakah dia Oligarki? Atau bahkan Tirani, yang dibalut dengan demokrasi (pseudo democratic). Entahlah, dari kejadian Bupati Bekasi, kita tahu, bahwa penguasa dan pengusaha merupakan aktor utama dalam kehidupan sosial-politik. (Tetapi saya belum berani untuk menyebutnya pemerintahan Oligarki, seperti yang dikemukakan Plato).
Mari melihat kembali Bupati Bekasi dari sisi yang lain. Pertama, secara sex (jenis kelamin) dan Gender, beliau adalah seorang perempuan, yang merupakan jenis manusia selain laki-laki. Diberitakan oleh media juga, melalui pernyataan Wakil Bupati Eka, Bupati Bekasi sedang Hamil. Terlebih itu sebuah Apology atau kenyataan kita tidak tahu. Tapi, menurut Psikologi yang menelaah kejiwaan manusia perempuan yang sedang hamil, adalah rentan mengalami stress. Artinya seorang perempuan yang didominasi (katanya) melalui perasaan ditambah dengan keadaan sedang hamil, tumpukan depresinya melebihi kadar. Stress yang terjadi pada manusia dan Ibu Hamil ini akan mengakibatkan calon manusia yang sedang ada dalam janin mempunyai dampak buruk. Silahkan saja kita dalami melalui bacaan tentang Ilmu Psikologi.
Ada beberapa hal yang saya tuju dalam tulisan ini. Pertama, tulisan ini sebagai rasa gembira atas kinerja KPK karena berhasil membongkar korupsi yang berdarang di daerah tempat saya hidup. Kedua, rasa prihatin terhadap Bupati Bekasi sebagai manusia, sebagai perempuan, keprihatinan ini ditimbulkan atas adanya para mahasiswa yang (berlebihan, sampai) melaksanakan tasyakkuran dan sengaja diberitakan media. Agaknya hal ini adalah hal yang berlebihan, untuk seorang mahasiswa, apalagi ditinjau dari sisi kebijaksanaan seorang yang bersekolah tinggi. Kita boleh saja mengapresiasi pemberantasan korupsi ini, tapi kita harus melihat sisi yang lain, yaitu sisi kemanusiaan, dan keperempunan Bupati Bekasi. Bagaimanapun alasannya, kalau itu Ibu kita sendiri, pasti kita amat sedih, walaupun di satu sisi kecewa. Perbedaan mahasiswa dengan yang bukan adalah, cara pandangnya yang luas terhadap berbagai persoalan, justru kegembiraan yang over, akan menyebabkan perilaku ekstrem anti kemanusiaan. Ketiga, ini adalah upaya saya menasehati diri saya yang harus dan masih banyak belajar. Walau bagaimanapun, kejadian ditangkapnya Bupati Bekasi menjadi hikmah, bahwa kejahatan meski disembunyikan di tanah ke tujuh akan tetap naik ke permukaan, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggung jawabannya di dunia ataupun akhirat (menurut doktrin Islam). Keempat, sebagai pengayaan wacana dari hal yang kasuistik, dibalik permasalahan daerah lainnya, baik itu dari sisi hukum, pemerintahan, lingkungan,pengangguran, dan lain sebagainya. Juga sebagai upaya sebagai pihak yang ada ditengah, tidak menjadi orang yang berlebihan dalam menanggapi kasus ini, juga tidak menjadi apatis atas masalah kehidupan.
Semoga kita banyak belajar.
Saya sebagai manusia, mengucapkan: semoga Bupati Bekasi tabah, dan mampu menjalankan proses hukum, dan Bekasi, tetap dalam cita-cita (dalam motonya), yakni daerah yang mampu mandiri serta memiliki pengaruh.
Wallahu A'lam
Fajar Chaidir Qurrota A'yun
PMII Kabupaten Bekasi
Refleksi: Bekasi, 17 Oktober 2018
Sebuah fenomena "partikulat" (halus, kecil) korupsi yang terjadi di dalam kehidupan sosial-politik negara kita, Indonesia. Korupsi bisa mungkin terjadi (dalam kenyataan kehidupan sehari-hari) dari level Pemerintah Desa sampai (mungkin) Menteri, bahkan seorang Presiden sekalipun, sangat berpotensi melakukan laku Korupsi. Bukan hanya kalangan Pejabat, Birokrat, Teknokrat, Pengusaha; kita bahkan, tidak pernah terlepas secara hakikat dari perilaku korupsi. Pertanyaan mendasarnya kemudian muncul, mengapa manusia melakukan laku Korupsi dalam kehidupan sehari-hari?
Menurut tafsiran para Ahli dan dari Undang-undang (hukum), korupsi diartikan sebagai berikut: "Nurdjana (1990) Korupsi berasal dari bahasa Yunani yaitu “corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum." Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2001: "Pengertian Korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara" Dan menurut UU No 24 Tahun 1960: " Korupsi adalah perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan."
Cukup sudah untuk mendifinisikan korupsi. Ternyata dalam kehidupan kita sehari-hari, masih termasuk dalam konteks "korupsi" yang disebutkan Ahli di atas.
Sementara, kalau kita mau melihat korupsi dalam kehidupan politik (praktis), korupsi dalam nyatanya, sangat sulit dihindari. Mulai dari istilah-istilah, "uang pelicin", "uang rokok", bahkan dalam pesta demokrasi, setiap pemilih seringkali menerima "uang es atau uang bensin" untuk datang ke TPS. Hal ini boleh saja ditentang oleh siapapun. Tapi siapapun tak boleh menodai kebenaran faktual. Menurut sudut pandang Filsafat, dalam bukunya, Louis O Katssof, berjudul Element Of Philosophy, seorang Guru Besar Universitas Caroline USA, menyatakan ada beberapa Theory Of Truth (teori kebenaran) yang bisa dipertanggungjawabkan sesuai konteksnga masing-masing. Dalam hali ini, kebenaran akan laku Korupsi, menyambung narasi di atas, adalah kebenaran Koherensi. Sesuatu kebenaran yang sah, apabila ada konsistensi antara teori dan kenyataannya. Lalu bisa dijustifikasi bahwa hal itu memang benar. Lagi-lagi kehidupan kita tidak terlepas dari perilaku korupsi, dan itu benar menurut sudut pandang Filsafat yang membahas teori tentang kebenaran. Itulah tadi disebutkan, boleh saja setiap orang mengelak atas ini. Tapi setiap orang tak boleh menodai kebenaran faktual yang disebutkan tadi.
Namun, jangan khawatir, karena laku korupsi ini, kita bisa mengelak sekaligus kembali lagi dalam Fitrah, bahwa yang sebenar-benarnya benar, adalah Sang Maha Benar. Manusia di luar kekuatannya untuk bisa menjadi benar yang sebenar-benarnya benar.
Saat semua orang membicarakan kelemahan dari seorang manusia maka ada hal yang harus dibedakan. Ada lemah yang memang sifat dasar manusia, yakni salah dan lupa. Seperti dalam pepatah Arab, "Al-insan mahalul al khotho wa annisyan" (manusia tak lepas dari salah dan lupa). Ini yang tidak bisa dihindari oleh manusia manapun, termasuk Nabi. Walaupun para Nabi dan Rasul dijaga oleh Tuhan dari kesalahan dan dosa-dosa.
Begitu pula yang terjadi pada Bupati Bekasi, Ibu Neneng Hasanah Yasin, kita semua sepakat bahwa "tindakan" atau "perilaku" yang beliau lakukan adalah kesalahan fatal yang merugikan dirinya dan orang banyak. Kesalahan dalam konteks ini adalah sebuah hal yang ada di luar kendali dirinya yang, hal itu didorong karena sifat dasar manusia. Kita menyalahkan lakunya, bukan Ibu Neneng sebagai manusia. Maka, kejadian yang menimpa Bupati Bekasi, itu hal yang menyenangkan, bahwasanya Tindak Pidana Korupsi kini terbongkar. Kita pula cukup berpuas hati oleh kinerja KPK, yang masih konsisten memberangus perilaku korupsi yang merugikan negara. Tapi, kita tidak boleh mengalienasi Ibu Neneng Hasanah Yasin, karena dasar dari sifat manusia adalah "salah" dan "lupa". Yang patut kita salahkan cukup perilaku korupsinya, selain itu beliau tetap kita anggap Manusia dengan sifat yang sama pada setiap manusia.
Jika dilihat dari perspektif sebuah Negara dalam salah satu "magnum opus" Plato, sang Filosuf terkemuka zaman Klasik Yunani. Murid Sokrates. Bahkan dia menggunakan mulut sokrates dalam bukunya yang bercorak dialog. Sekaligus pendiri Akademi pertama. Yang disebut Akademi Plato pada masa itu.
Plato, sebagaimana dikutip Karl Raimund Popper dalam bukunya "Open Society and Its Enemies" (masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya), bahwa Negara akan berkembang melalui beberapa tahap. Analisis ini, kita bisa gunakan untuk melihat realitas pemerintah dan masyarakat, dari tingkat daerah sampai nasional, meskipun teori ini adalah termasuk teori klasik.
Perkembangan masyarakat menurut Plato, karena adanya perselisihan Internal atau perang (antar) kelas yang digerakkan oleh kepentingan pribadi, terutama oleh kepentingan pribadi yang bersifat material dan ekonomis, adalah kekuatan utama "dinamika sosial". Teori ini adalah teori historisisme Plato, yang kemudian diadopsi oleh Karl Heinrich Marx, Filosuf sosialis Jerman.
Sementara dalam Negara, menurut Plato, akan mengalami 4 Periode "degenerasi politik". Pertama, ada pemerintahan Timokrasi, yakni pemerintahan yang dijalankan oleh para bangsawan yang mencari kemasyhuran dan kehormatan. Fase kedua, adalah Oligarki,pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga-keluarga kaya. Ketiga, fase Demokrasi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh kebebasan. Terakhir, adalah fase pemerintahan Tirani, yang dipimpin satu orang.
Melalui perkembangan ini, kita bisa melihat, bahwa pemerintahan yang hari ini ada di depan mata kita, apakah dia Oligarki? Atau bahkan Tirani, yang dibalut dengan demokrasi (pseudo democratic). Entahlah, dari kejadian Bupati Bekasi, kita tahu, bahwa penguasa dan pengusaha merupakan aktor utama dalam kehidupan sosial-politik. (Tetapi saya belum berani untuk menyebutnya pemerintahan Oligarki, seperti yang dikemukakan Plato).
Mari melihat kembali Bupati Bekasi dari sisi yang lain. Pertama, secara sex (jenis kelamin) dan Gender, beliau adalah seorang perempuan, yang merupakan jenis manusia selain laki-laki. Diberitakan oleh media juga, melalui pernyataan Wakil Bupati Eka, Bupati Bekasi sedang Hamil. Terlebih itu sebuah Apology atau kenyataan kita tidak tahu. Tapi, menurut Psikologi yang menelaah kejiwaan manusia perempuan yang sedang hamil, adalah rentan mengalami stress. Artinya seorang perempuan yang didominasi (katanya) melalui perasaan ditambah dengan keadaan sedang hamil, tumpukan depresinya melebihi kadar. Stress yang terjadi pada manusia dan Ibu Hamil ini akan mengakibatkan calon manusia yang sedang ada dalam janin mempunyai dampak buruk. Silahkan saja kita dalami melalui bacaan tentang Ilmu Psikologi.
Ada beberapa hal yang saya tuju dalam tulisan ini. Pertama, tulisan ini sebagai rasa gembira atas kinerja KPK karena berhasil membongkar korupsi yang berdarang di daerah tempat saya hidup. Kedua, rasa prihatin terhadap Bupati Bekasi sebagai manusia, sebagai perempuan, keprihatinan ini ditimbulkan atas adanya para mahasiswa yang (berlebihan, sampai) melaksanakan tasyakkuran dan sengaja diberitakan media. Agaknya hal ini adalah hal yang berlebihan, untuk seorang mahasiswa, apalagi ditinjau dari sisi kebijaksanaan seorang yang bersekolah tinggi. Kita boleh saja mengapresiasi pemberantasan korupsi ini, tapi kita harus melihat sisi yang lain, yaitu sisi kemanusiaan, dan keperempunan Bupati Bekasi. Bagaimanapun alasannya, kalau itu Ibu kita sendiri, pasti kita amat sedih, walaupun di satu sisi kecewa. Perbedaan mahasiswa dengan yang bukan adalah, cara pandangnya yang luas terhadap berbagai persoalan, justru kegembiraan yang over, akan menyebabkan perilaku ekstrem anti kemanusiaan. Ketiga, ini adalah upaya saya menasehati diri saya yang harus dan masih banyak belajar. Walau bagaimanapun, kejadian ditangkapnya Bupati Bekasi menjadi hikmah, bahwa kejahatan meski disembunyikan di tanah ke tujuh akan tetap naik ke permukaan, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggung jawabannya di dunia ataupun akhirat (menurut doktrin Islam). Keempat, sebagai pengayaan wacana dari hal yang kasuistik, dibalik permasalahan daerah lainnya, baik itu dari sisi hukum, pemerintahan, lingkungan,pengangguran, dan lain sebagainya. Juga sebagai upaya sebagai pihak yang ada ditengah, tidak menjadi orang yang berlebihan dalam menanggapi kasus ini, juga tidak menjadi apatis atas masalah kehidupan.
Semoga kita banyak belajar.
Saya sebagai manusia, mengucapkan: semoga Bupati Bekasi tabah, dan mampu menjalankan proses hukum, dan Bekasi, tetap dalam cita-cita (dalam motonya), yakni daerah yang mampu mandiri serta memiliki pengaruh.
Wallahu A'lam
Fajar Chaidir Qurrota A'yun
PMII Kabupaten Bekasi
Refleksi: Bekasi, 17 Oktober 2018
0 Comments