*HARI SANTRI: DAHULU MELAWAN SEKARANG MENEBAR PERDAMAIAN*

Mengapa Pesantren Kurang Siap Saat New Normal? - VOA-ISLAM.COM
 
 
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin, mengatakan dalam videonya yang tersebar luas di media sosial, bahwa tema Hari Santri tahun ini adalah tentang "perdamaian". Mendengar hal ini, dalam benak saya berkata, tepat! Ada beberapa hal yang menurut saya tepat, pada tema hari santri tahun ini.

Pertama, kehidupan sosio-teknologi kita setahun ke belakang ini memang mengalami kemunduran. Benarlah, terbukti dalam sebuah penelitian tentang kehidupan sosio-teknologi (kita menyebutnya selancar di dunia maya) bahwa di era percepatan teknologi informasi seperti yang kita alami sekarang ini, kehidupan manusia, diprosentasekan delapan puluh persennya ada dalam dunia maya. Kehidupan ganda ini (ruang sosio-teknologi), kemudian mampu mempengaruhi sampai pada tatanan nasional. Berapa banyak kita membaca hoaks yang tersebat di ruang yang lain itu; atau malah kita ikut terbawa menyebarkan berita bohong (sumbernya tak terpercaya, dan tidak logis-rasional). Beberapa bulan ke belakang kita mendengar ada agen yang memang diciptakan khusus untuk motif politik, atau memecah belah keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Ratna Sarumpaet, yang juga ikut terekam di media-media Nasional setelah kepolisian mendeteksi kebohongannya, dan mungkin ke depan (jika tidak dihentikan secara bersama melalui kesadaran bersama), akan bermunculan "hoakers" (penyebar berita hoaks) untuk motif-motif tertentu. Perseteruan di "dunia yang lain" itu mampu mengakibatkan riak-riak pertengkaran antar individu, kelompok, suku, agama, ras, bahkan antar tokoh politik yang seharusnya menjadi contoh publik. Kalau ruang yang lain itu mampu mempengaruhi ke hal yang buruk, saya meyakini, ia juga mampu mempengaruhi ke hal-hal yang baik, positif dan bermanfaat. Maka, perdamaian yang saya tafsirkan pertama adalah perdamaian "dunia yang lain"; perdamaian sosio-teknologi (informasi komunikasi), dalam hal ini, media-media mainstream atau lokal, pemerintah melalui Kominfonya, serta netizen, harus bersama-sama menghimpun kekuatan perdamaian dalam dunia yang lain itu, dunia sosio-teknologi.

Kedua, Clifford Geertz seorang Antropolog lahiran Amerika, dalam bukunya The Religion Of Java, melalui klasifikasi sosialnya menuliskan tiga kelas yang banyak mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi, sosial-religi, menganggap bahwa kaum Santri adalah kaum yang Islam faham agama serta memiliki identitas sebagai pedagang. Meskipun teori ini banyak dikritik oleh beberapa tokoh di kemudian hari. Artinya, sejak dahulu, corak kehidupan sosial di masyarakat pula Jawa sangat kental dengan kesantriannya. Sehingga Clifford Geertz memasukkannya sebagai kelas sosial di dalam kontruksi masyarakat Jawa.

Selain ada dalam kontruksi sosial, Kaum santri juga memiliki peranan dalam "Melawan" penjajah, melalui Resolusi Jihad NU tanggal 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy'ari Rois Akbar Nahdlatul Ulama bersama KH. Wahab Chasbullah yang memimpin rapat di PBNU, bersama Kiai-kiai lainnya, sempat diminta Bung Karno melalui utusannya untuk memimta fatwa, apa hukumnya membela Tanah Air?
Dikutip dari tulisan KH. Agus Sunyoto, dalam NU Online, fatwa itu berbunyi demikian:

Fatwa ini bernama "RESOLUSI JIHAD FI SABILILLAH"

"Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”

Resolusi Jihad bak api yang membakar dada seluruh masyarakat yang ada di Jawa Timur, Surabaya, ditambah dengan sulutan Pidato Bung Tomo di Radio yang berbunyi demikian:

"Kita ekstrimis dan rakyat, sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”

“Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Bung Karno Tegas mengapi-api!

Puncak dari sulutan ini adalah terjadinya peperangan 10 November 1945 di Surabaya, semua orang tumpah semangat jiwanya untuk bertekad merdeka, dan diakui kemerdekaannya oleh negara lain. Sebab, pada waktu itu, negara-negara lain masih menganggap bahwa Indonesia adalah negara boneka Fasisme Jepang. Maka Bung Karno dengan semua rakyat ingin membuktikan bahwa Indonesia adalah negara Nation-State yang kelahirannya berasal dari Rakyatnya. Lahirlah pertempuran ini sebagai manifestasi dari Resolusi Jihad dan Pidato Bung Tomo. Santri, dalam pertempuran ini menjadi garda terdepan.

Ketiga, sebetulnya perjuangan santri hari ini tidaklah berbeda dengan tahun 1945, hanya saja berbeda cara dan pendekatannya. Dahulu, karena kobaran semangat untuk melawan penjajah, maka yang disebarkan adalah propaganda-propaganda anti-kolonial, propaganda yang siap perang dan mengucurkan darah, bahkan mengobarkan nyawa. Tapi sekarang yang harus diperjuangkan santri adalah bagaimana mempertahankan NKRI (dan dasar-dasar negara lainnya), menebarkan kejujuran, kebaikan, dan perdamaian. Santri sebagai klas sosial yang memiliki pengaruh, mesti mampu memegang kendali atas fenomena maraknya kebencian, dari mulai menebar hoaks, sampai kecenderungan gerakan yang akan menyebabkan disintegrasi bangsa, seperti isu Radikalisme dengan manifestasi organisasi yang bersemangat mendirikan Khilafah Islam yang tentu bertentangan dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh para Pendiri Bangsa yang telah mengorbankan segalanya demi Indonesia Merdeka! Apalagi hari ini, santri adalah kelompok milenial yang mampu mengendalikan teknologi informasi, yang di dalam kehidupan sosio-teknologi mampu mempengaruhi kehidupan nyata. Ya, hari ini, kehidupan di dunia yang lain, lebih mempengaruhi dalam kehidupan nyata, ketimbang kehidupan nyata mempengaruhi dunia yang lain (dunia sosio-teknologi). Santri dengan semangat dakwahnya, baik di dunia yang lain ataupun dunia nyata, mesti menjadi pendakwah yang menyebarkan perdamaian dan persatuan, bukan sebaliknya. Itulah hakikat dari perjuangan santri terdahulu, membela Negara!

Keempat, dalam cita-cita kemerdekaan Indonesia, termaktub sebuah cita-cita luhur, yakni menginginkan perdamaian dunia. Dalam buku Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Perspektif Hukum dan Globalisasi yang ditulis Ade Mamah Suherman, dikatakan bahwa, "Pendidikan yang paling mahal di abad 21 yang diberikan orang dewasa kepada anak-anak adalah pendidikan perdamaian". Tentu hal ini sangat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Perdamaian dunia ini agaknya sudah dimulai oleh Nahdlatul Ulama dengan konsepsi "Islam Nusantara"nya yang oleh pihak-pihak lain banyak yang masih salah memahami Islam Nusantara. Islam Nusantara bukanlah seperti yang dikatakan oleh pembencinya, singkatnya, Islam Nusantara adalah konsep Islam yang sesuai dengan konteksnya, Islam yang menjadi Air. Dan dibalik itu semua, sesungguhnya Islam Nusantara adalah salah satu upaya untuk merepresentasikan kepada dunia, tentang bagaimana seharusnya menjadi orang Islam, yang oleh Allah, sebetulnya Nabi SAW diutus untuk menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam. Hari ini kisruh yang terjadi di timur tengah membuktikan bahwa Islam yang ada di timur tengah belum mampu merepresentasikan Islam dengan wajahnya yang Rahmatan Lil 'alamin. Dengan keadaan yang terus memanas, konflik politik internal, akhirnya sesama Muslim diadu domba oleh negara yang ingin menghancurkan Islam, karena merasa bahwa menghancurkan Islam tak mungkin bisa terang-terangan. Inilah Islam Nusantara, selain sebagai konsep tipologi Islam, juga termaktub akan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni perdamaian dunia. Santri dalam hal ini diharapkan mampu pula mengenalkan IslamNusantara kepada masyarakat yang belum memahami, sebagai upaya berpartisipasi dalam terwujudnya perdamaian dunia dan Islam Rahmatan Lil 'Alamin.

Kalau saya boleh berimajinasi, seandainya Resolusi Jihad itu terjadinya hari ini mungkin akan berbunyi begini:
"Berperang melawan hoaks dan kebencian itu hukumnya Fardlu 'Ain. Bagi setiap orang Islam yang telah berakal sehat. Dan bagi siapa saja yang telah mampu mengendalikan mesin informasinya. Karena melawan hoaks dan kebencian, adalah bentuk mempertahankan dan meneruskan cita-cita kemerdekaan, dan membentuk perdamaian dunia. Sebab mustahil bangsa Imdonesia memyumbangkan upaya perdamaian dunia, kalau di dalamnya tidak mencerminkan persatuan dan kesatuan. Dan itulah hakikatnya perdamaian!

Selamat Hari Santri 2018

Bekasi, Senin 22 Oktober

*Fajar Chaidir Qurrota A'yun*
Si Santri Momentum