Cerpen
Oleh: Fajar Chaidir Qurrota A'yun
Sepekan sebelum lebaran, Yanto tengah bersiap dan membayangkan, kalau tahun ini dia akan mudik. Sudah tiga lebaran lamanya tidak mudik, jelas membuatnya amat merindukan kampung halaman. Terlebih bertemu dengan Ibu, bapak, dan saudara-saudaranya. Belum lagi teman-teman semasa kecilnya, yang sudah menghubunginya melalui ponsel dengan bertanya, "kapan kamu pulang kampung, to?" Kata teman-temannya. Tiga lebaran lalu, Yanto tak bisa pulang karena bosnya di perusahaan mempercayainya untuk menjaga mesin tetap beroperasi, memenej agar perusahaan tetap mampu berproduksi, meskipun dengan hanya beberapa karyawan saja, mereka ini orang yang tinggal di dekat perusahaan, sehingga bisa tetap diminta untuk masuk kerja, meskipun hari itu adalah hari raya.
Keuletan Yanto sebagai seroang manajer, rupanya membuat orang asing (bosnya) menyukainya. Selalu sesuai bahkan surplus jika pekerjaan itu sudah dipegang oleh tangannya.
Malam itu sepulang bekerja, dia mampir di restoran ala barat yang menjadi tempat biasa singgahnya, setelah selesai bekerja, untuk melepas penat dan rasa lapar yang mengusik dirinya. Dilihatnya jalan raya yang mulai padat karena kendaraan berbondong-bondong di jalan raya, "orang-orang itu sudah tentu akan pergi menuju kampung halamannya" dalam hatinya menebak, sehabis dia melihat, ini sudah kurang tiga hari dari lebaran. Segera muncul dalam benaknya, untuk menyiapkan segala sesuatunya nanti sepulang dari restoran makan yang berada dekat di pinghir jalan utama itu. Fikirannya mulai membayangkan, betapa rindunya akan masakan emaknya. Dia melihat menu-menu makanan barat sebenarnya, dipaksa masuk ke dalam lidahnya. Dilihatnya menu makanan yang diberikan pelayan. Rupanya tidak ada masakan yang khas Indonesia, apalagi masakan sayur asem, tempe goreng, dan ikan teri, ditambah sambal, seperti yang biasa dimasak ibunya saat kecil, lalu dimakan bersama di tengah sawah bersama bapak dan adik-adiknya sehabis menggarap sawah. Sungguh nikmat rasanya hari-hari itu, hari di mana kesibukan sangat sederhana, kebahagiaan yang mudah di dapatkan setiap hari. Tidak ada bising mesin, yang ada bebunyian indah burung, bunyi kaleng-kaleng yang digunakan untuk mengusir burung-burung, bunyi angin menerpa padi-padinya, yang selalu membuat matanya kantuk bila disentuhnya. Setiap paginya dia tak menemukan kemacetan seperti yang dialami setiap pagi saat berangkat ke kantor, yang ada hanya bunyi kukuruyuk ayam jantan di telinganya, bersama dengan bau aroma masakan ibu. Adik-adiknya membangunkan dia setiap harinya dengan sopan dan lembut, tidak seperti di rumah yang difasilitasi bosnya itu, tiap pagi dia harus mendengarkan alarm yang nadanya tak pernah diganti selama bertahun-tahun. Tidurpun selalu berada di depan laptop, di atas kursi dan meja kerja. Berbeda saat di kampung, yang walaupun beralas tikar saja, tetapi setiap pagi, selalu merasa puas tidur, walau sejenak. Udara yang dingin dan bersih setiap pagi dihirup di desa, juga berbeda dengan yang dihirupnya di kota, yang penuh polusi dan terasa panas di tubuh. Saat ke sawah berjalan kaki tanpa alas menuju ladang. Meskipun sekarang Yanto setiap hari memakai mobil yang difasilitasi bosnya, tapi dia merasakan kebahagiaan tetap ada di kampung halaman. Dia membayangkan andai saja di kampungku orang-orang bisa bekerja dan bisa membuat harapan jadi nyata, tentu kota tak akan terasa sesak seperti sekarang ini. Pandangannya pun terasa amat terbatas, sehingga mempengaruhi keluasan fikiran. Di kota saat mata memandang mendengak sedikit, hotel-hotel yang tinggi, membatasi penglihatan, sementara di kampungnya, mata bebas melihat semesta, melihat gunung, dan melihat burung-burung beterbangan ke sana dan kemari. Semua kenangan itu semakin membuatnya ingin pulang ke kampung.
Tersadar dari khayalan dan masalalunya, dengan terpaksa yanto memesan makanan ala barat itu karena perutnya telah keroncongan sedari dia keluar dari kantor. Setelah makan segera dia bergegas menuju rumah yang difasilitasi bosnya itu.
Tas koper sudah disiapkannya. Baju, semua barang berharga, makanan-makanan yang dia sudah beli untuk di bawa ke kampung halaman juga sudah terbungkus dengan rapi. Tinggal besok segera pergi. Sampai saat hendak tidur, dia masih memimpikan bahwa ibunya sudah memanggil-manggilnya untuk pulang. Mengigaulah dia sambil berucap kata, "ibu, ibu, aku akan pulang kampung besok pagi". Sementara jam berdentang loncengnya, itu sudah menunjukkan pukul 3 tepat dinihari, beberapa jam lagi istirahatnya untuk memulihkan badan menuju kampung halamannya selesai.
Tibalah pagi itu, alarm Yanto sudah berbunyi, jam 7 tepat tandanya. Setelah shalat subuh tadi karena masih lelah, ia tidur kembali. Sekarang cepat dia bergegas mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, saat dia sedang siul-siul seiring dengan lagu slow rock yang diputarnya setiap pagi. Terkejut bukan main Yanto, bosnya yang orang asing itu ternyata sudah menelponnya beberapa kali saat dia mandi. Dilihatnya hanphonenya, ada 3 panggilan tak terjawab. Bertanya dalam hati, "ada apakah bos menelponku?", bukankah kemarin dia tidak memesan aku untuk masuk, dan hari ini memang sudah diliburkan perusahaan? Sekali lagi HPnya berbunyi. Ya benar! Itu nama bosnya, Mr. Kim. Diangkatlah telponnya, bosnya bertanya:
"Apa kamu tidak ada sibuk hari ini Yanto?" Tanya bosnya, dengan nada bicara koreanya yang masih kental..
"Oh Mister, saya mohon maaf, hari ini saya sudah merencanakan untuk berlibur dan pulang ke kampung halaman saya!" Balas Yanto, mulai cemas.
"Begini Yanto, perusahaan mitra kita punya, meminta untuk kita memproduksi pesanananya untuk diekspor, dan urgen. Saya harapnya kamu bisa handle kerja ini. Nanti gaji kamu saya tambah ya..."
Dengan bingung sambil agak kesal Yanto mendengarnya. Dia hanya diam, beberapa saat. Habislah apa yang sudah dia fikirkan semalam. Harapannya untuk bertemu sanak familinya kembali gagal tahun ini. Terlebih, dia dikenal bosnya selalu ta'at dan mengarjakan pekerjaannya hingga selesai dan memuaskan. Tak mau juga citranya menjadi buruk dengan berkata, tidak.
Karena diam terlalu lama, bosnya bertanya kembali.
"Yanto... Bagaimana? Siap tidak untuk handle pekerjaannya? Jika kamu siap, saya segera hubungi kita punya mitra, dan kamu hubungi beberapa karyawan yang tempat tinggalnya ada di sekitar perusahaan...."
Yanto, memang hafal mana temannya yang bukan pribumi dan mana yang penduduk setempat.
Dengan berat Yanto berkata," hmm.. Siap deh bos. Oke. Saya segera datang ke pabrik" dengan jawaban yang lesu.
Sungguh nasib Yanto, kasihan, sudah tidak pulang selama tiga tahun, masih saja diperah tenaganya. Diperah waktunya, diperah kebahagiaannya.
Berangkatlah Yanto menuju perusahaan. Dan waktu tetap berjalan. Tiga hari dia menyelesaikan, sampai saat idul fitri tiba, dia masih melaksanakan shalat di masjid dekat rumah fasilitasnya. Dia sudah sangat lelah, karena tiga hari berangkat pagi dan pulang larut malam. Ditambah dia sedang berpuasa, tentu sudah pasti badannya butuh hak untuk beristirahat. Tidurlah dia setelah shalat ied selesai dikamarnya.
Tengah malam, ia bangun karena merasa masih lelah, dia meneruskan tidurnya sampai besok pagi.
Pagi ini agak berbeda, cuaca mendung, jalanan sepi. Yanto bangun dan melihat itu dari jendela kamarnya. Perasaannya seolah ada yang mengganjal. Tapi fikiran itu dibuangnya, untuk menetralisir keadaan jiwanya, yang dikira hanya terlalu capai tiga hari yang lalu.
Tepat jam 10 pagi, saat Yanto sedang asyik menonton televisi, HPnya kembali berdering, dia lihat itu nomor dari adiknya yang ada di kampung. Kembali berfikir sejenak, apa yang terjadi, padahal sewaktu dia tak jadi pulang ke kampung, sudah memberitahukan bahwa dia tak bisa pulang lagi tahun ini. Karena alasan bosnya, dan perusahaan yang tak bisa dihindarinya, sebab semua fasilitas hidup telah dipakai Yanto.
Segera diangkat telponnya, "asaalamualaikum, ada apa dik? Kan mas sudah jelaskan kalau mas tidak jadi pulang kampung... Bos mas nyuruh lembur kerja!"
Anehnya, adiknya menelpon dengan nada agak bersedih, dan sewaktu hendak menjawab pertanyaan Yanto, adik perempuannya yang masih SMA tak kuasa menahan tangis. Dia mengatakan sambil menangis, "ibu mas, ibu...." Sambil terus menangis.
"Ibu sudah tidak ada mas..! Ibu pergi meninggalkan kita selama-lamanya..."
Mendengar kabar itu, dia tak percaya, "Dek jangan bercanda yang tidak-tidak. Kamu ini....! Kamu sengaja ya biar mas pulang kampung, kangen ya sama mas?..."
"Ndak mas, aku ndak bercanda, Ibu meninggal dunia mas...!"
Saat itu juga Yanto mengeluarkan air mata, dan terisak tangisnya, sudah tiga tahun dia tak bertemu ternyata akan selama-lamanya tak bertemu ibunya. Yanto sembil terisak tangisnya, "kenapa bisa dek? Kenapa kamu ndak ngabari mas, kalau Ibu sakit, mas tak pernah dengar kabar apa-apa dari kamu selama ini, yang mas tahu ibu dan bapak tetap sehat..." Air matanya terus keluar berbarengan dengan pertanyaannya pad adiknya.
"Mas, aku sebenere mau kabari kamu, tapi semalam sebelum Ibu meninggal, aku tak boleh memberikan kabar yang buruk sama ibu, karena takut mengganggu konsentrasi mas bekerja.." Adiknya menjelaskan.
"Ibu... Kenapa bu, kenapa saya tak boleh tahu, kenapa saya tak boleh merawat ibu, kenap ibu menyebunyikan sakit ibu dari saya..." Sambil memukul mukul bangku, tanda menyesal Yanto, atas apa yang menimpa Ibunya.
"Mas, sebenarnya sudah tiga tahun lalu, Ibu divonis kanker kepala oleh dokter, tapi saat mas terakhir datang bertemu di kampung, ibu melarang kami untuk membicarakan ini.... Kami manut saja apa yang diperintah ibu, termasuk bapak juga diam..."
Hanya terdengar tangis sebagai balasan dan jawaban atas keterangan yang adik Yanto berikan. Betapa menyesalnya Yanto.
Akhirnya, diusap air matanya, dan diseka hidungnya yang sudah mengeluarkan banyak cairan.
"Baiklah dek, mas akan berangkat.. Mas sekarang juga akan pulang ke kampung.. Mas tak mau lagi ketinggalan dan tak bertemu wajah ibu, walau sudah tidak lagi bergerak dan pucat... Mas minta, jangan terburu ibu dikubur, sebelum mas sampai ke sana"
"Njeh mas.." Ditutuplah telpon adiknya. Bergegas Yanto cepat membeli tiket pesawat dan menuju bandara. Yanto berangkat pukul 13.00 menuju kampung halamannya di Lampung.
Betapa ia menyesal, mengerjakan sesuatu untuk orang tercintanya. Tetapi orang tercintanya tak sempat merasakan hasilnya. Betapa menyesal, mengorbankan waktu untuk orang lain yang sebenarnya hanya memerah tenaga pikiran waktu untuk kesenangannya sendiri, dari pada mengorbankan waktu, dan tenaganya untuk bertemu orang yang tercinta.
Bekasi, 17 Juni 2018
Oleh: Fajar Chaidir Qurrota A'yun
Sepekan sebelum lebaran, Yanto tengah bersiap dan membayangkan, kalau tahun ini dia akan mudik. Sudah tiga lebaran lamanya tidak mudik, jelas membuatnya amat merindukan kampung halaman. Terlebih bertemu dengan Ibu, bapak, dan saudara-saudaranya. Belum lagi teman-teman semasa kecilnya, yang sudah menghubunginya melalui ponsel dengan bertanya, "kapan kamu pulang kampung, to?" Kata teman-temannya. Tiga lebaran lalu, Yanto tak bisa pulang karena bosnya di perusahaan mempercayainya untuk menjaga mesin tetap beroperasi, memenej agar perusahaan tetap mampu berproduksi, meskipun dengan hanya beberapa karyawan saja, mereka ini orang yang tinggal di dekat perusahaan, sehingga bisa tetap diminta untuk masuk kerja, meskipun hari itu adalah hari raya.
Keuletan Yanto sebagai seroang manajer, rupanya membuat orang asing (bosnya) menyukainya. Selalu sesuai bahkan surplus jika pekerjaan itu sudah dipegang oleh tangannya.
Malam itu sepulang bekerja, dia mampir di restoran ala barat yang menjadi tempat biasa singgahnya, setelah selesai bekerja, untuk melepas penat dan rasa lapar yang mengusik dirinya. Dilihatnya jalan raya yang mulai padat karena kendaraan berbondong-bondong di jalan raya, "orang-orang itu sudah tentu akan pergi menuju kampung halamannya" dalam hatinya menebak, sehabis dia melihat, ini sudah kurang tiga hari dari lebaran. Segera muncul dalam benaknya, untuk menyiapkan segala sesuatunya nanti sepulang dari restoran makan yang berada dekat di pinghir jalan utama itu. Fikirannya mulai membayangkan, betapa rindunya akan masakan emaknya. Dia melihat menu-menu makanan barat sebenarnya, dipaksa masuk ke dalam lidahnya. Dilihatnya menu makanan yang diberikan pelayan. Rupanya tidak ada masakan yang khas Indonesia, apalagi masakan sayur asem, tempe goreng, dan ikan teri, ditambah sambal, seperti yang biasa dimasak ibunya saat kecil, lalu dimakan bersama di tengah sawah bersama bapak dan adik-adiknya sehabis menggarap sawah. Sungguh nikmat rasanya hari-hari itu, hari di mana kesibukan sangat sederhana, kebahagiaan yang mudah di dapatkan setiap hari. Tidak ada bising mesin, yang ada bebunyian indah burung, bunyi kaleng-kaleng yang digunakan untuk mengusir burung-burung, bunyi angin menerpa padi-padinya, yang selalu membuat matanya kantuk bila disentuhnya. Setiap paginya dia tak menemukan kemacetan seperti yang dialami setiap pagi saat berangkat ke kantor, yang ada hanya bunyi kukuruyuk ayam jantan di telinganya, bersama dengan bau aroma masakan ibu. Adik-adiknya membangunkan dia setiap harinya dengan sopan dan lembut, tidak seperti di rumah yang difasilitasi bosnya itu, tiap pagi dia harus mendengarkan alarm yang nadanya tak pernah diganti selama bertahun-tahun. Tidurpun selalu berada di depan laptop, di atas kursi dan meja kerja. Berbeda saat di kampung, yang walaupun beralas tikar saja, tetapi setiap pagi, selalu merasa puas tidur, walau sejenak. Udara yang dingin dan bersih setiap pagi dihirup di desa, juga berbeda dengan yang dihirupnya di kota, yang penuh polusi dan terasa panas di tubuh. Saat ke sawah berjalan kaki tanpa alas menuju ladang. Meskipun sekarang Yanto setiap hari memakai mobil yang difasilitasi bosnya, tapi dia merasakan kebahagiaan tetap ada di kampung halaman. Dia membayangkan andai saja di kampungku orang-orang bisa bekerja dan bisa membuat harapan jadi nyata, tentu kota tak akan terasa sesak seperti sekarang ini. Pandangannya pun terasa amat terbatas, sehingga mempengaruhi keluasan fikiran. Di kota saat mata memandang mendengak sedikit, hotel-hotel yang tinggi, membatasi penglihatan, sementara di kampungnya, mata bebas melihat semesta, melihat gunung, dan melihat burung-burung beterbangan ke sana dan kemari. Semua kenangan itu semakin membuatnya ingin pulang ke kampung.
Tersadar dari khayalan dan masalalunya, dengan terpaksa yanto memesan makanan ala barat itu karena perutnya telah keroncongan sedari dia keluar dari kantor. Setelah makan segera dia bergegas menuju rumah yang difasilitasi bosnya itu.
Tas koper sudah disiapkannya. Baju, semua barang berharga, makanan-makanan yang dia sudah beli untuk di bawa ke kampung halaman juga sudah terbungkus dengan rapi. Tinggal besok segera pergi. Sampai saat hendak tidur, dia masih memimpikan bahwa ibunya sudah memanggil-manggilnya untuk pulang. Mengigaulah dia sambil berucap kata, "ibu, ibu, aku akan pulang kampung besok pagi". Sementara jam berdentang loncengnya, itu sudah menunjukkan pukul 3 tepat dinihari, beberapa jam lagi istirahatnya untuk memulihkan badan menuju kampung halamannya selesai.
Tibalah pagi itu, alarm Yanto sudah berbunyi, jam 7 tepat tandanya. Setelah shalat subuh tadi karena masih lelah, ia tidur kembali. Sekarang cepat dia bergegas mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, saat dia sedang siul-siul seiring dengan lagu slow rock yang diputarnya setiap pagi. Terkejut bukan main Yanto, bosnya yang orang asing itu ternyata sudah menelponnya beberapa kali saat dia mandi. Dilihatnya hanphonenya, ada 3 panggilan tak terjawab. Bertanya dalam hati, "ada apakah bos menelponku?", bukankah kemarin dia tidak memesan aku untuk masuk, dan hari ini memang sudah diliburkan perusahaan? Sekali lagi HPnya berbunyi. Ya benar! Itu nama bosnya, Mr. Kim. Diangkatlah telponnya, bosnya bertanya:
"Apa kamu tidak ada sibuk hari ini Yanto?" Tanya bosnya, dengan nada bicara koreanya yang masih kental..
"Oh Mister, saya mohon maaf, hari ini saya sudah merencanakan untuk berlibur dan pulang ke kampung halaman saya!" Balas Yanto, mulai cemas.
"Begini Yanto, perusahaan mitra kita punya, meminta untuk kita memproduksi pesanananya untuk diekspor, dan urgen. Saya harapnya kamu bisa handle kerja ini. Nanti gaji kamu saya tambah ya..."
Dengan bingung sambil agak kesal Yanto mendengarnya. Dia hanya diam, beberapa saat. Habislah apa yang sudah dia fikirkan semalam. Harapannya untuk bertemu sanak familinya kembali gagal tahun ini. Terlebih, dia dikenal bosnya selalu ta'at dan mengarjakan pekerjaannya hingga selesai dan memuaskan. Tak mau juga citranya menjadi buruk dengan berkata, tidak.
Karena diam terlalu lama, bosnya bertanya kembali.
"Yanto... Bagaimana? Siap tidak untuk handle pekerjaannya? Jika kamu siap, saya segera hubungi kita punya mitra, dan kamu hubungi beberapa karyawan yang tempat tinggalnya ada di sekitar perusahaan...."
Yanto, memang hafal mana temannya yang bukan pribumi dan mana yang penduduk setempat.
Dengan berat Yanto berkata," hmm.. Siap deh bos. Oke. Saya segera datang ke pabrik" dengan jawaban yang lesu.
Sungguh nasib Yanto, kasihan, sudah tidak pulang selama tiga tahun, masih saja diperah tenaganya. Diperah waktunya, diperah kebahagiaannya.
Berangkatlah Yanto menuju perusahaan. Dan waktu tetap berjalan. Tiga hari dia menyelesaikan, sampai saat idul fitri tiba, dia masih melaksanakan shalat di masjid dekat rumah fasilitasnya. Dia sudah sangat lelah, karena tiga hari berangkat pagi dan pulang larut malam. Ditambah dia sedang berpuasa, tentu sudah pasti badannya butuh hak untuk beristirahat. Tidurlah dia setelah shalat ied selesai dikamarnya.
Tengah malam, ia bangun karena merasa masih lelah, dia meneruskan tidurnya sampai besok pagi.
Pagi ini agak berbeda, cuaca mendung, jalanan sepi. Yanto bangun dan melihat itu dari jendela kamarnya. Perasaannya seolah ada yang mengganjal. Tapi fikiran itu dibuangnya, untuk menetralisir keadaan jiwanya, yang dikira hanya terlalu capai tiga hari yang lalu.
Tepat jam 10 pagi, saat Yanto sedang asyik menonton televisi, HPnya kembali berdering, dia lihat itu nomor dari adiknya yang ada di kampung. Kembali berfikir sejenak, apa yang terjadi, padahal sewaktu dia tak jadi pulang ke kampung, sudah memberitahukan bahwa dia tak bisa pulang lagi tahun ini. Karena alasan bosnya, dan perusahaan yang tak bisa dihindarinya, sebab semua fasilitas hidup telah dipakai Yanto.
Segera diangkat telponnya, "asaalamualaikum, ada apa dik? Kan mas sudah jelaskan kalau mas tidak jadi pulang kampung... Bos mas nyuruh lembur kerja!"
Anehnya, adiknya menelpon dengan nada agak bersedih, dan sewaktu hendak menjawab pertanyaan Yanto, adik perempuannya yang masih SMA tak kuasa menahan tangis. Dia mengatakan sambil menangis, "ibu mas, ibu...." Sambil terus menangis.
"Ibu sudah tidak ada mas..! Ibu pergi meninggalkan kita selama-lamanya..."
Mendengar kabar itu, dia tak percaya, "Dek jangan bercanda yang tidak-tidak. Kamu ini....! Kamu sengaja ya biar mas pulang kampung, kangen ya sama mas?..."
"Ndak mas, aku ndak bercanda, Ibu meninggal dunia mas...!"
Saat itu juga Yanto mengeluarkan air mata, dan terisak tangisnya, sudah tiga tahun dia tak bertemu ternyata akan selama-lamanya tak bertemu ibunya. Yanto sembil terisak tangisnya, "kenapa bisa dek? Kenapa kamu ndak ngabari mas, kalau Ibu sakit, mas tak pernah dengar kabar apa-apa dari kamu selama ini, yang mas tahu ibu dan bapak tetap sehat..." Air matanya terus keluar berbarengan dengan pertanyaannya pad adiknya.
"Mas, aku sebenere mau kabari kamu, tapi semalam sebelum Ibu meninggal, aku tak boleh memberikan kabar yang buruk sama ibu, karena takut mengganggu konsentrasi mas bekerja.." Adiknya menjelaskan.
"Ibu... Kenapa bu, kenapa saya tak boleh tahu, kenapa saya tak boleh merawat ibu, kenap ibu menyebunyikan sakit ibu dari saya..." Sambil memukul mukul bangku, tanda menyesal Yanto, atas apa yang menimpa Ibunya.
"Mas, sebenarnya sudah tiga tahun lalu, Ibu divonis kanker kepala oleh dokter, tapi saat mas terakhir datang bertemu di kampung, ibu melarang kami untuk membicarakan ini.... Kami manut saja apa yang diperintah ibu, termasuk bapak juga diam..."
Hanya terdengar tangis sebagai balasan dan jawaban atas keterangan yang adik Yanto berikan. Betapa menyesalnya Yanto.
Akhirnya, diusap air matanya, dan diseka hidungnya yang sudah mengeluarkan banyak cairan.
"Baiklah dek, mas akan berangkat.. Mas sekarang juga akan pulang ke kampung.. Mas tak mau lagi ketinggalan dan tak bertemu wajah ibu, walau sudah tidak lagi bergerak dan pucat... Mas minta, jangan terburu ibu dikubur, sebelum mas sampai ke sana"
"Njeh mas.." Ditutuplah telpon adiknya. Bergegas Yanto cepat membeli tiket pesawat dan menuju bandara. Yanto berangkat pukul 13.00 menuju kampung halamannya di Lampung.
Betapa ia menyesal, mengerjakan sesuatu untuk orang tercintanya. Tetapi orang tercintanya tak sempat merasakan hasilnya. Betapa menyesal, mengorbankan waktu untuk orang lain yang sebenarnya hanya memerah tenaga pikiran waktu untuk kesenangannya sendiri, dari pada mengorbankan waktu, dan tenaganya untuk bertemu orang yang tercinta.
Bekasi, 17 Juni 2018
0 Comments