*PENDIDIKAN PERSPEKTIF FILSAFAT BIOREGIONALISME*
*Jawaban atas penyelesaian kompleksitas kota Industri*
*Jawaban atas penyelesaian kompleksitas kota Industri*
Pendidikan adalah bagaimana upaya pertolongan yang dilakukan oleh siapapun dan apapun terhadap manusia yang belum dewasa. Pendidikan adalah perbuatan mendidik. Dalam konteks pembahasan dalam tulisan ini, saya akan menguraikan tentang kritik terhadap pendidikan kita yang populer dan segala hal yang mempengaruhinya.
Pendidikan di Kabupaten Bekasi, atau di manapun di kota-kota lainnya, telah terpengaruh oleh sistim kapitalisme, yang sebetulnya semakin menjauhkan manusia-manusia modern dari kebudayaannya, dan dari alamnya. Yang sangat ketara (nyata), adalah terpusatnya ekonomi kapitalis. Sehingga, ini jugalah yang menjadikan manusia-manusia muda, hanya bercita-cita menjadi pekerja buruh, yang “menjanjikan” itu. Kita semakin dipisahkan dari kebudayaan asli kita, menjadi kebudayaan yang “ala kota”, dan kita menganggapnya, “ala kota” melambangkan manusia yang maju. Kebudayaan “ala kota” ini yang kemudian diresapi setiap individu dan menjadi “life style” yang mengasingkannya dari kebudayaan si manusia saat lahir. Kebijakan politik dan hukum, khususnya dalam Pendidikan, anehnya, melegalisasi pengasingan manusia dari budaya aslinya dan dari alam aslinya. Sebut saja pendidikan kejuruan yang sangat populer di kota-kota Industri, semakin diminati karena menjanjikan masa depan yang cerah. Seraya para remaja berkata: “Masuk SMK, sudah gak perlu kuliah lagi, karena sudah pasti dijamin bisa kerja”, dan saya sangat mengalami dan pernah menjadi salah satunya. Karena semakin banyaknya remaja yang bicara begitu, sehingga menjadi “nalar mainstream” anak remaja. Keadaan konsumsi yang diperebutkan banyak tangan inilah yang kemudian menimbulkan banyak pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterasingan, dan chaos. Sebetulnya, telah banyak ide-ide bagaimana mempertahankan “local wisdom” atau kearifan lokal, tetapi agaknya ini akan gagal, karena sistem pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan hukum kita tidak mengarah ke sana. Manusia yang tak mengikuti tren pendidikan ini akan menjadi makhluk yang menganggur, miskin dan terasing (dari sospolekhum). Artinya, pendidikan harus mampu menjadi problem solver dari segala kekacauan kota yang terjadi, sebagai akibat dari tersentralnya manusia-manusia dari berbagai sisi, yang awal mulanya berasal dari pendidikan itu mendidiknya.
Maka kita perlu pendidikan yang mengkonseptualisasikan antara kebutuhan dasar manusia (ekonomi), tetap melestarikan kebudayaannya, dan juga tidak terasing dari alamnya (lingkungan, tempat hidup aslinya). Selama ini kekacauan kota, seperti kemacetan, kepadatan penduduk yang diperoleh dari urbanisasi, bahkan terasing dari budaya dan alamnya menjadikan kota tak baik untuk perkembangan individu dan komunitas manusia.
Salah satu penyelesaiannya adalah dengan konsep Pendidikan perspektif Filsafat Bioregionalisme, sebuah aliran Filsafat atau sistem berfikir bioreginalisme. Sebelumnya, kita akan mendifinisikan Filsafat Bioregionalisme itu apa.
Pertama, arti dari Bioregionalisme sebagai sebuah aliran atau sistem pemikiran, adalah sebuah aliran dan sistem berfikir yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah kelahiran”. Dengan begitu, kita diajak kembali untuk mengenali dan mendalami, bumi, alam, ekosistem, tempat kelahiran, tanah air, dengan segala kondisi dan kekhasannya, fauna dan floranya, iklim dan tata airnya, dan seluruh sistimnya. Sebagaimana dikutip dari Sonny Keraf, dalam Filsafat Lingkungan Hidup Bersama Fritjop Capra.
Kedua, Bioregionalisme mengajak kita untuk memahami tempat, rumah, alam, yang begitu dekat dengan hidup kita, langsung kita rasakan sebagai bagian dari alam di mana kita lahir, tumbuh, berkembang, dan dibesarkan sebagai bagian dari tempat yang unik, yang khas, yag kita sebut sebagai tanah kelahiran, tanah kampung kita.
Ketiga, Istilah Bioregionalisme ini pertama kali digunakan oleh Van Newkirk, sekitar tahun 1970an. Newkirk memahami bioregionalisme ini sebagai sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografis. Kemudian istilah ini diperjelas oleh Peter Berg dan Raymond Dasmann, pada tahun 1977 melalui artikel yang berjudul “Reinhabiting California”.
Keempat, menurut Peter dan Dasmann, prinsip Bioregionalisme ini adalah “living in place” (hidup di tempat), “Reinhabitation” (mendiami kembali). Hidup di tempat yang dimaksudkan adalah, hidup mengikuti keniscayaan, dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik di mana setiap orang berada, dan mengembangkan cara-cara untuk memastikan bagaimana setiap orang hidup selamanya, di tempat itu; dan selalu akan menjaga keseimbangan daya dukung tempat itu melalui hubungan mendalam antara kehidupan manusia beserta seluruh aktivitasnya dengan seluruh kehidupan lain di sekitarnya, bahkan, proses cuaca, musim, siklus air, yang telah tersingkap di tempat itu. Dan prinsip mendiami kembali, dimaksudkan, belajar kembali hidup di tempat, wilayah, yang telah dirusak dan dihancurkan oleh karena eksploitasi di masa-lalu. Dan inti dari Filsafat Bioreginoalisme adalah “menjaga tempat”.
Dengan Filsafat ini, kita bisa menyusun kembali konsep pendidikan yang “tidak lupa akan buminya”, akan kebudayaannya, serta dari sana, kita akan mampu melawan keterasingan, kemiskinan, dan istilah pengangguran yang hanya ada di masyarakat “industri”, sehingga masyarakat menjadi (menganut faham) sentrisme. Konsep pendidikan ini merupakan sebuah bentuk perlawanan kepada pendidikan populer dan juga sebagai bentuk bagaimana menyelesaikan persoalan kota yang “kompleks”.
Dalam analisis saya, semisal, di Kabupaten Bekasi, kita bisa memetakan tempat hidup kita dan disesuaikan dengan pendidikannya. Ada satu sekolah yang menurut saya unik dan berbeda dari sekolah “mainstream”. Sekolah ini memang tidak populer, tetapi bagi saya sekolah ini patut dijadikan contoh, nama sekolahnya SMK AT-TAUFIK. Sekolah ini juga mengadakan pendidikan Islam tradisional, yakni pesantren. Dengan letaknya di daerah kecamatan Sukawangi, yang secara geografis dan potensi alamnya pertanian, pendidikan ini mengajarkan kita supaya anak-anak remaja faham akan potensinya, agar mampu mengelola alamnya, mendiami tempat hidupnya, menjaga keseimbangan alamnya, kebudayaan ekonominya, dan juga sebuah sikap mandiri yang juga melawan sistim hidup di kota sebesar dan seindustri kabupaten Bekasi. Sayangnya, masyarakat kita sangat disusupi doktrin-doktrin modernisasi ekonomi, bahwa, “anak yang sukses adalah yang bisa bekerja di pabrik, dan yang mampu menjadi 'orang kota'." Akhirnya sekolah ini hanya punya sedikit murid, dan sangat jarang orang tua menyuruh anaknya menjadi petani. Kecenderungan ini menurut saya sudah tidak aneh lagi, karena tidak dibantu dengan kekuatan dari segala sistim (ekonomi-sosial-politik-hukum), ya, inilah resiko dari melawan pola “mainstream” yang sudah mengakar pada masyarakat Industri.
Dengan memakai konsep Pendidikan perspektif Filsafat Bioregionalisme, kita akan mampu memahami potensi lokal, dan mempertahankan alam, serta budaya yang hidup di masyarakat kita, sekaligus membantu menyelesaikan persoalan kota yang agaknya adalah “akibat” dari kelalaian masa lalu. Industrialisasi sebagai model pembangunan sudah berpuluh tahun hidup di masyarakat kita, sehingga untuk melawannya diperlukan semua disiplin ilmu dan semua otoritas instansi, lembaga, organisasi untuk melawannya.
Yang lebih lucu di daerah tempat saya hidup, di Cikarang. Cikarang adalah jantungnya kabupaten Bekasi. Cikarang, dahulu, sangat berbeda dengan cikarang sekarang, akibat adanya Industrialisasi itu. Konyolnya sistim pendidikan di sini (Cikarang) mengarahkan remajanya bukan untuk mempertahankan, dan mendiami tempat asli hidupnya, malah justru merusak, meninggalkan, bahkan ikut mendukung eksploitasi itu. Terbukti dari menjamurnya sekolahan teknik, yang melestarikan dan berlawanan dengan prinsip bioregionalisme ini. Tetapi, saya meyakini, masih ada harapan untuk kita “reinhabitation”, memulihkan kota tempat lahir saya. Salah satu upayanya adalah implementasi konsep bioregionalisme, sesuai dengan potensi Industrinya, dengan cara yang berlawanan. Upaya ini lebih kepada pengobatan, dan pelestarian kembali alam tempat hidup, serta mempertahankan budaya lokal yang ada. Mempertahankan lahan-lahan yang masih dimiliki masyarakat sebagai tanahnya dan dari sana dia hidup, meskipun sudah sangat sedikit.
Potensi kabupaten Bekasi sangat cocok dengan ini, melihat potensi alamnya, ada tanah yang subur, dan laut di sebelah utara, tepatnya di kecamatan Muara Gembong. Yang lebih penting lagi, saya ingin menyuarakan kepada pembuat kebijakan pendidikan tingkat daerah untuk memperhatikan ini. Berapa banyak lagi lahan masyarakat yang akan dibajak dan berapa banyak lagi mereka yang tertipu akan “uang sesaat”, serta berapa banyak lagi para remaja yang menganggur, menjadi miskin, dan terasing?!
Kebijakan pendidikan model ini perlu dikuatkan oleh para praktisi pendidikan, guru-guru, kepala sekolah, para tokoh muda, tokoh agama, dan semua element sosial untuk kehidupan manusia di Bekasi yang lebih baik lagi. Atau, kita perlu membuat sekolah-sekolah yang ada di luar pemerintah. Sebagai kiritik atas pemerintah yang tidak punya “political will” pada pendidikan dan pemecahan masalah kota? Saya merasa memiliki tanggung jawab intelektual atas ini, maka coretan tentang kritik pendidikan serta solusinya ini adalah “manifestasi” dari altruisme seorang pemuda yang hidup di Kabupaten Bekasi, yang mau daerahnya mengarah kepada kebudayaan dan peradaban manusia yang unggul, dengan begitu, kita akan menjadi masyarakat yang “mandiri serta memiliki pengaruh” (menjadi suri tauladan atas pembangunan berkelanjutan).
Tulisan ini, saya menyadari akan kurangnya, oleh sebab itu, kekurangan yang ada di dalamnya, adalah akibat penulis masih ada dalam tahap belajar. Tetapi, tahap belajar ini juga, harus dipraksiskan, dengan tujuan kehidupan yang lebih baik lagi.
Wallahu A'lam
*Refleksi Kritis Pendidikan*
Fajar Chaidir Qurrota A’yun
Cikarang Utara, 15 Nopember 2018
0 Comments