*Esai Telaah Pendidikan*
*Oleh: Fajar Chaidir Qurrota A’yun*


FKSS Sebut Sekolah Swasta Dirugikan dengan Berbagai Kebijakan Pemerintah -  Pikiran-Rakyat.com

A. Penyempitan Makna Terhadap Pendidikan

1. Makna Pendidikan Menjadi Sekolah

       Pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Yang kemudian artinya disempitkan menjadi sekolah. Sedangkan sekolah sendiri berarti, bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Apa yang kemudian saya ungkapkan ini berdasarkan nalar masyarakat kebanyakan yang mengurangi keluasan arti pendidikan itu sendiri. Sehingga dikatakan, kalau orang yang “tidak sekolah” adalah sama dengan “tidak berpendidikan”. Nalar seperti ini bisa mengakibatkan: pertama, pendidikan hanya bisa didapatkan oleh mereka yang mampu bersekolah (karena didapatkan dengan biaya yang tidak sedikit). Kedua, orang yang tidak berpendidikan akan terasing oleh sebab tak pernah bersekolah; entah itu terasing dalam kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik (hanya menjadi objek bukan subjek dalam kebijakan politik dan menciptakan istilah baru bernama pengangguran). Keadaan ini menjadikan pendidikan justru eksklusif dan menambah masalah kemanusiaan. Ketiga, karena sekolah hanya segelintir orang yang mampu (kaya) mendirikannya, akhirnya, lembaga sekolah ini hanya semata-mata bergeser bukan lagi mendidik, melainkan menjadi jasa pembuat “ijazah” atau formalisasi pendidikan. Di luar sekolah, orang akan pesimis dapat mengembangkan dirinya, untuk dapat hidup dan menghadapi masalah kehidupan serta memecahkan persoalan kehidupannya.

2. Makna Belajar

       Belajar memang tak pernah lepas dari pembelajaran yang merupakan “proses” membuat orang belajar. Tapi saya menemukan sebuah kejanggalan dalam hal pembelaran. Pembelajaran secara umum adalah proses belajar mengajar (instruction). Kejanggalan itu bisa dilihat dari: Pertama, bahwa manusia seumur hidupnya berada dalam proses belajar, sesuai dengan prinsip “long life education”. Kedua, karena seumur hidup manusia itu belajar, sehingga tidak ada lagi kata “mengajar”. Karena ketika dalam mengajar, manusia tidak pernah lepas dari kata “belajar”. Secara logika, misalnya, tidak mungkin ayah sekaligus ibu, atau anak sekaligus ayah, itupun bisa terjadi kalau hanya dalam “kiasan” semata. Sehingga adanya kata mengajar bertentangan dengan belajar itu sendiri. Kecuali kalau diartikan”belajar bersama”. Istilah belajar bersama bagi saya lebih tepat karena keduanya melalui proses belajar yang sama sesuai dengan tingkatannya (umur, pengalaman, pengetahuan), adapun interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran itu lebih kepada mencari dan membantu memecahkan dan memaknai segala persoalan kehidupan. Ketiga, ketika ada kata mengajar, maka belajar itu hanya ada di sekolah, sedangkan pada kenyataannya, manusia bisa belajar dari apa dan siapapun, tak terbatas hanya seperti tafsiran guru seperti dikenal di sekolah. Keempat, jika dilihat dari arti belajar sebagai perubahan perilaku dan interaksi dengan lingkungan, maka perubahan dan interaksi itu harus tercipta bersama-sama tanpa
adanya kata mengajar atau si pengajar. Karena keduanya sama-sama ingin menuju pada perubahan perilaku dan interaksi yang ada dalam hakikat belajar. Keadaan ini bisa kita lihat di sekolah, kebanyakan guru yang merasa menjadi pengajar, merasa tak perlu mengubah perilaku dan menjaga interaksinya agar selalu terhubung dengan apa dan siapa yang dapat membantu ke arah hakikat belajar itu sendiri, kemudian menganggap bahwa hanya muridlah yang harus menuju pada hakikat belajar, dan guru boleh tidak berubah bahkan interaksi dalam komunikasinya kepada murid boleh linier (secara penuh), seperti gaya ceramah, yang mengakibatkan guru lupa pada hakikatnya sebagai manusia yang belajar seumur hidup.

3. Makna Subjek dan Objek Pendidikan

       Terjadi perdebatan di kalangan para ahli pendidikan terkait tentang Subjek dan Objek pendidikan. Mengenai siapa yang subjek dan objek, para ahli agaknya berbeda pendapat. Pendidikan dalam hal pengajaran seperti yang ditafsirkan di lembaga sekolah merupakan komunikasi yang terjadi di dalam kelas antara subjek (guru) dan objek (murid). Tapi di sisi lain, murid sebagai manusia menurut beberapa ahli yang tidak sepakat dijadikan hanya sebagai objek, dia adalah manusia juga yang memiliki jiwa yang sama dengan guru. Karena itu murid selain sebagai objek, dia juga disebut subjek pendidikan. Ini berarti terdapat kebingungan dan penyempitan makna dari awal dikarenakan pemaknaan yang dilakukan oleh “lembaga sekolah” yang merasa paling berhak untuk memaknai siapa subjek dan objek dalam proses pendidikan. Kemungkinannya mengapa bisa terjadi perdebatan itu adalah, para ahli yang berpendapat murid sebagai objek cenderung melihatnya dari sisi lembaga sekolah. Sedangkan mereka para ahli yang berpendapat keduanya (subjek sekaligus objek pendidikan) adalah mereka yang berusaha meluaskannya menjadi tak terbatas di sekolah saja. Oleh karena itu, terbuka bagi siapa saja untuk memaknai subjek dan objek pendidikan karena di kalangan para ahli pun terdapat perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

4. Islam Memandang ketiganya

       Islam memandang pendidikan adalah sebuah kewajiban sebagaimana sabda Nabi SAW: “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”. Ini berarti kewajiban bagi siapa saja, tanpa memandang kelas. Baik dia orang miskin atau kaya, pejabat atau bukan, merupakan sebuah kewajiban bagi tiap individunya. Islam pernah menyumbangkan peradaban bagi umat manusia seluruhnya, tetapi pada saat belum adanya sekolah yang diformalisasi, siapa saja dapat belajar dan berpendidikan, karena Nabi SAW sendiri selalu meneladani siapapun, kapanpun, dan di manapun tempatnya. Siapapun berarti tanpa pandang strata sosial, kapanpun berarti tak terbatas oleh waktunya dan di manapun berarti tak terbatas tempatnya. Nabi adalah tokoh pendidikan bagi setiap muslim. Itu berarti prinsip belajar seumur hidup dalam diri dan praktik hidup Nabi SAW telah cukup menjadi contoh, sebagaimana sabdanya: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Bahkan sebelum adanya kata “Long Life Education” sebagaimana yang digaungkan di barat. Begitupun subjek dan objek pendidikan, dalam Al-Quran seringkali kita dititah belajar dari Alam atau lingkungan hidup, dari manusia dan mengenali diri sendiri, untuk menuju pada pengenalan kita terhadap Allah SWT yang menciptakan seluruhnya.

B. Reproduksi Makna Pendidikan

1. Pendidikan Adalah Pendidikan

       Pendidikan yang disempitkan maknanya menjadi sekolah akan menciptakan manusia yang terasing dan lupa akan siapa dirinya. Maka pendidikan tidak boleh disempitkan maknanya menjadi hanya sekolah. Sekolah hanyalah bagian kecil dari pendidikan. Dan pendidikan adalah proses dalam kehidupan itu sendiri, agar manusia mampu menghadapi persoalan kehidupannya dan mampu hadir bersama lingkungannya, serta untuk mengenal dirinya yang kemudian akan mengenal Tuhannya. Oleh sebab itu, pendidikan adalah pendidikan.

2. Belajar Seumur Hidup

       Akibat sekolah yang menganggap paling berhak untuk menafsirkan pendidikan, akhirnya waktu dan tempat pendidikan hanya terbatas. Kita ambil contoh bahwa sekolah hanya mewajibkan orang belajar selama 12 tahun seusuai kebijakan di negara kita. Tetapi dalam hal ini, atau dalam agama Islam, misalnya, pendidikan itu berjalan seumur hidup manusia dan terjadi di mana saja. Di satu moment, Nabi SAW berkata, bahwa hikmah itu berserakan di manapun seorang mukmin menemukan, dianjurkan untuk mengambilnya. Hikmah dalam hal ini adalah pendidikan, bahkan dia berada pada tingkat tertinggi, setelah pengetahuan, yakni kebijaksanaan.

3. Subjek Pendidikan

       Pertama, saya memaknai subjek pendidikan adalah siapa dan apa saja yang mampu membawa menuju perubahan perilaku dan terciptanya interaksi dengan lingkungan sebagaimana hakikat belajar. Karena inti pendidikan sejalan dengan hakikat belajar. Pendidikan yang terjadi di sekolah dengan tempat dan waktu yang diformalisasi menjadikan pendidikan justru sempit, dan tertutup oleh masalah kehidupan. Padahal adanya pendidikan justru untuk  membina manusia sesuai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan, sebagaimana disebutkan di atas, tetapi sekolah membuatnya tertutup dari masalah kehidupan, dengan tembok segi empat yang diukur dan distandarisasi, menjadikan interaksi dia dengan lingkungannya akan bermasalah, dan mustahil akan menciptakan manusia-manusia yang bisa memecahkan masalah kehidupannya baik secara individu atau harapan masyarakat dan kebudayaannya. Ketertutupan itu pertama dilihat dari subjek dan objeknya yang hanya manusia. Kedua, tempat yang terbatas hanya di dalam kelas. Dan ketiga, waktu yang dibatasi sehingga prinsip dari belajar seumur hidup itu menjadi hilang.

       Kedua, Subjek bisa diartikan yang melakukan suatu perbuatan, atau pelaku utama dalam perubahan situasi. Menurut saya bahwa subjek pendidikan itu berjumah tiga: Pertama, Alam atau lingkungan hidup. Kedua, Manusia. Terakhir, Jiwa manusia si pembelajar itu sendiri yang merupakan mikro-kosmos dari alam semesta, sehingga membawa pada religiusitas atau interaksi transenden, karena di dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan. Mungkin, kita beranggapan bahwa alam atau lingkungan hidup tak mungkin bisa melakukan interaksi dengan si pembelajar. Itu karena dalam nalar umum sudah diciptakan bahwa yang hidup di dunia ini hanya manusia, sedangkan alam, dianggap sebagai sesuatu yang mati. Tapi, dalam kenyataannya, manusia hanya bagian kecil dari alam atau lingkungan hidupnya, bahkan manusia amat dipengaruhi dengan kondisi alamnya atau lingkungan hidupnya. Karenanya, alam atau lingkungan hidup bukanlah sesuatu yang mati seperti anggapan orang-orang yang sengaja menciptakan corak hidup yang antroposentris, agar dapat melakukan eksploitasi dengan alam atau lingkungan hidup. Hal ini yang kemudian menjadikan manusia justru terasing dari lingkungannya dan bertentangan dengan prinsip belajar yang mengatakan “interaksinya dengan lingkungan” baik itu sesama (manusia) atau lingkungan hidup (alam semesta). Mengenai interaksi jiwa manusia, sebetulnya terjawab pada ilmu jiwa yang menganggap bahwa perubahan dimulai dari dalam, artinya perubahan perilaku dalam belajar tidak akan terwujud kalau tidak ada interaksi antara manusia dengan jiwanya. Perubahan internal, menjadi sangat penting jika mau sampai kepada hakikat atau tujuan belajar itu sendiri. Jika kita melihat makna belajar itu sendiri: “belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berfikir dan merasakan.”

4. Objek Pendidikan

       Ketiga, Objek pendidikan. Objek pendidikan bagi para ahli juga terjadi perdebatan, ada yang mengatakan bahwa objek pendidikan adalah murid yang sekaligus subjek. Dan pandangan kedua, dari perspektif kritis, mengatakan bahwa objek pendidikan adalah “pemecahan masalah” yang dibahas dalam interaksi pendidikan untuk mampu menghadapi persoalan kehidupan. Tetapi, bagi saya, Objek pendidikan yang sesungguhnya, sebagaimana hakikat belajar, yakni berfikir. Mengapa berfikir, karena pemecahan masalah kehidupan hanyalah hasil dari perbuatan berfikir itu sendiri. Dengan berfikir manusia mampu sampai pada kesadaran dan mampu melakukan interaksi yang menuju pada perubahan perilaku si pembelajar. Berfikirlah yang kemudian menghubungkan antara alam, manusia, dan dirinya sendiri. Tentu berfikir bukan berarti mutlak bahwa itu semua bisa ditangkap melalui fikiran. Berfikir yang dimaksud adalah berjalannya indera manusia dengan akalnya sehingga mampu memecahkan masalah dalam kehidupannya. Oleh karena itu untuk menuju pada objek pendidikan, manusia harus mampu mengoptimalisasikan inderanya, fikirannya, dan perasaannya agar interaksi dari subjek tadi bisa membuatnya menjadi berubah ke arah yang lebih baik: yakni manusia yang mampu menyelesaikan masalah kehidupannya. Sebagaimana dikatakan bahwa: “seorang belajar dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif.”

5. Bukti-bukti Alam Sebagai Subjek Pendidikan

Dasar Argumen:

       Pertama, Alam atau lingkungan hidup adalah hidup, sama seperti manusia. Bahkan, manusia, hanya sekelompok kerajaan binatang (yang bisa berfikir), yang menempati alam ini. Dalam sejarah evolutif, sebagaimana termaktub di buku Sapiens, karya sejarawan Yuval Noah Harari, manusia masih sekeluarga dengan simpanse, dan yang sejenisnya. Kalau melihat sejarah manusia dari Homo Neanderthal sampai Homo Sapiens (manusia bijaksana), akan terlihat sebuah pertumbuhan dan perubahan dari sisi biologis dengan otak yang besar disebabkan makanan yang dikonsumsi oleh Homo Sapiens, yang disebut sebagai fase Revolusi Kognitif manusia primitif. Terlepas teori ini memiliki kontroversi karena tidak sesuai oleh kepercayaan yang kita anut. Alam juga memilki rasio sama seperti kita, bahkan rasio kita adalah proses pemahaman kita juga terhadap alam semesta. Misalnya, benda yang jatuh, pasti ke bawah, mustahil akan ke atas. Rasio ini nanti yang kita namakan sebagai hukum alam. Sama seperti kaidah berfikir manusia yang dinamakan logika, yang memiliki kaidah berfikir, misalnya, lima pasti lebih banyak dari 1, yang tak perlu dibuktikan oleh pengalaman, sebagaimana pendapat kant, yang disebutnya pengetahuan a-priori. Belum lagi pengetahuan kita yang kita namakan sebagai “pengalaman”, adalah proses interaksi kita dengan alam itu sendiri, karena mustahil kita berpisah dengan alam atau lingkungan hidup kita. Manusia dengan alam adalah sebuah hubungan Ko-eksistensi; ada, hadir (eksis), dan saling mendukung kehidupan.
       Kedua, segala macam Ilmu pengetahuan khususnya yang bersifat Ilmu pengetahuan Alam, merupakan bukti bahwa alam melakukan interaksi dengan manusia sesuai dengan kaidah cara berkomunikasi dengan alam. Bukan hanya Ilmu Pengetahuan, Ilmu Astronomi, dan segala macam Ilmu sains yang kita kenal di abad ini, adalah berkat interaksi manusia dengan alam. Walaupun memang, alam hanya dijadikan bahan eksploitasi manusia yang tak bertanggung jawab. Cara alam merespons segala macam eksploitasi yang kita lakukan kepadanya, bermacam-macam; bisa melalui udara yang tidak sejuk, banjir, dan bencana lainnya yang memang bisa dijelaskan oleh beberapa Ilmu yang membahas tentang terjadinya bencana tadi.
       Ketiga, yang kita anggap membingungkan ini (alam menjadi subjek pendidikan) bukan terletak pada apakah alam bisa dijadikan sebagai subjek pendidikan. Tetapi lebih kepada “bagaimana cara kita berkomunikasi dengan alam semesta atau lingkungan hidup kita”. Saya menganggap bahwa, alam juga memiliki bahasa, sama seperti manusia; yang membedakannya hanya dari jenis bahasanya. Bahasa alam tidak seperti yang dikomunikasikan guru kepada muridnya, dengan bahasa oral, atau bunyi yang berupa kata-kata. Kalau kita mau mempelajari filsafat bahasa, seorang filsuf bernama Ferdinand De Sausure, mengatakan bahwa secara filsafati yang dinamakan bahasa adalah sebuah “sistem tanda” yang terdiri dari penanda dan petanda. Penanda ini merupakan petunjuk atau sesuatu yang digunakan untuk memberi tanda. Sedangkan petanda, adalah sesuatu yang diberi tanda. Misalnya, langit yang mendung adalah penanda dari akan datangnya hujan; dan petandanya hujan. Dalam contoh lain, padi yang menguning, adalah penanda dari akan datangnya musim panen, dan petandanya panen. Ini yang kemudian saya jadikan dasar dari bahasa komunikasi dengan alam. Manusia melakukan komunikasi ini dengan cara eksperimen, trial and error dan lain-lain untuk berbicara dan memahami alam semesta. Jadi bahasa alam semesta tidaklah sama seperti jenis bahasa kita yang memakai kata-kata. Walaupun sebetulnya bahasa manusia (komunikasi) ada yang bersifat non verbal. Bahasa non verbal inilah bahasa yang dapat dijadikan sebagai “menyamakan persepsi” manusia dengan alam dalam proses pendidikan.

6. Peran dan Fungsi Guru Sebagai Fasilitator dan Interpretator dalam Proses Pembelajaran

       Guru, menurut saya sesuai dengan pendapat-pendapat di atas, bukanlah orang yang mengajar. Sebab dalam keadaannya menjadi guru, dia hanya orang yang “membantu”. Tentu mengajar dan membantu adalah dua hal yang berbeda. Peran atau sebagai orang, guru memiliki peran fasilitator. Fasilitator tidaklah mengajarkan, melainkan memfasilitasi, menyediakan segala perangkat, metode, strategi kepada murid agar sampai kepada tujuan dan hakikat belajar. Sedangkan sebagai Interpretator (interpreter) guru berfungsi membantu “menafsirkan” segala komunikasi alam kepada manusia. Sejalan dengan bahasa alam yang non verbal, maka murid mesti dibantu dengan pemaknaan, atau dengan metode yang mengarah pada tujuan dan hakikat belajar. Tafsiran yang dihasilkan pun sesuai dengan potensi murid. Murid yang berpotensi dalam pelajaran Agama, maka bantuan pemaknaannya diarahkan oleh guru keoada hubungan alam dengan agamanya. Yang berpotensi dalam sains, dan sosial juga diarahkan kepada potensinya. Dengan begitu murid akan sampai kepada ienteraksinya dengan alam lingkungan hidupnya, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri, sehingga membawa kepada perubahan perilaku yang permanen, yang menjadikan murid lebih baik dari keadaan belum belajar. Di sini guru mendapat tugas yang agak berat, karena harus memahami potensi muridnya dan membantunya menuju ke sana; dalam arti, guru harus memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai macam disiplin ilmu. Ilmu matematika atau sains, seharusnya bisa dijelaskan dalam pemaknaan agama, dan juga sebaliknya. Guru-guru juga harusnya orang yang berasal sama dari lingkungan alam yang sama dengan muridnya, sehingga mempermudah interaksi dan pemunculan interpretasi bersama antara guru murid dengan alam. Proses pembelajaran sendiri, saya memaknainya sebagai upaya “belajar bersama” tidak dengan belajar-mengajar sebagaimana pengertian umum yang diartikan sekolah.

C. Monopoli Sekolah Terhadap Pendidikan

       Monopoli yang terjadi terhadap pendidikan, banyak dilakukan oleh sekolah itu sendiri yang menyatakan dirinya sebagai “yang bisa” menafsirkan pendidikan itu apa serta segala macam sistimnya. Bahayanya pendidikan yang seharusnya merupakan proses penanaman nilai menjadi lembaga yang menciptakan manusia terasing dari alam dan lingkungannya serta ekonomi dan sosialnya. Dari pendidikan awalnya menjadi ada pengangguran. Seolah-olah pendidikan yang berwajah mulia itu punya dua muka; satu menghasilkan manusia yang sukses dan yang lain menghasilkan manusia “menganggur” yang gagap dengan lingkungan dan sesamanya serta tak mampu menyelesaikan persoalan hidupnya baik secara individual ataupun komunal. Seperti yang saya sebutkan di muka, bahwasanya, siapa saja yang tak pernah sekolah, maka akan dianggap “tak berpendidikan”. Padahal makna pendidikan amat luas dan dalam. Tetapi sekolah kemudian melakukan “pendangkalan makna”. Dengan keadaan yang seperti ini, sekolah juga menciptakan sebuah ketergantungan kepada manusia modern. Masalah selanjutnya, karena sekolah ini yang mampu mengadakan hanya kelompok dan kalangan yang mampu dan berkuasa, menjadikan pendidikan ibarat “barang dagangan” atau “jualan jasa” bagi manusia-manusia, yang kemudian menjanjikan siapa yang sekolah, akan sejahtera hidupnya, dalam arti, akan mudah mencari pekerjaan. Sekolah menjadi sebagai penyalur orang-orang kerja. Padahal pendidikan itu sendiri ditujukan kepada pemunculan daya hidup manusia, yang salah satunya adalah daya “cipta”. Daya kreatif manusia yang masuk ke sekolah ini menjadi tak muncul karena sekolah hanya membawanya sebagai manusia yang “pencontek” yang pasrah terhadap kehidupan yang diciptakan sistimnya oleh segelintir orang. Sekolah untuk bekerja, sudah menjadi ‘adagium’ masyarakat di perkotaan. Dalam keadaan itu, sekolah memperparah dengan formalisasinya, yakni melalui sertifikasi, yang kemudian menambah terasing manusia yang tak pernah masuk sekolah. Sertifikasi yang kita namakan ijazah ini membuktikan bahwa manusia tersebut pernah sekolah, tetapi belum tentu manusia itu pernah ‘berfikir’. Karena efek dari sertifikasi itu, dan kematian daya cipta manusia yang ada di sekolah. Sekolah memperkuatnya dengan ‘sistim eveluasi’ yang intelektualistik oriented. Artinya, sekolah hanya memunculkan manusia yang bagus dengan nilai-nilai dipelajari, yang belum tentu itu hasil murni dari manusia itu dalam belajar. Evaluasi yang seperti ini kemudian menjadikan daya cipta manusia menjadi mati. Mustahil menjadi manusia yang mandiri, dengan kesadaran dan kebebasannya memecahkan persoalan kehidupan, serta mematikan potensi manusia yang beragam, karena penyeragaman evaluasi yang intelektualistik oriented tersebut. Selain itu, sekolah menjadikan manusia lupa akan masalah kehidupannya, karen menciptakan ruangan yang eksklusif berukuran tertentu berbentuk segi empat. Dan menjadikan waktu belajar atau umur manusia yang belajar dibatasi.

D. Pendidikan Karya Sebagai Upaya Solutif

Pendidikan Karya, adalah pendidikan yang mengintegrasikan alam dengan potensi manusia yang ada di dalamnya. Berupaya bagaimana prinsip koeksistensi alam-manusia bisa terwujud. Berupaya mengikis eksploitasi alam dan sesama seperti yang diakibatkan dari adanya lembaga sekolah. Pendidikan Karya merupakan pendidikan yang diciptakan agar manusia mampu memecahkan persoalan kehidupan individu dan komunalnya dengan baik, sehingga menjadi manusia yang sadar dan bebas. Upaya ini dilakukan dengan cara mengobjektivikasi ‘berfikir’ sebagai objek pendidikannya, dan alam sebagai subjeknya. Pendidikan karya juga tidak meninggalkan sisi religiusitas dan spiritual manusia yang menjadi kodrat “ciptaan Tuhan”. Maka selain alam dan manusia, sebagai subjek pendidikannya, pendidikan karya menjadikan “dirinya” sebagai manusia yang mesti mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri yang merupakan “mikro kosmos”, dan akan bertitik pada penemuannya kepada Tuhan yang merupakan penciptanya dan pemilik alam semesta ini.  Pendidikan karya diadakan untuk siapa saja, terlebih bagi mereka yang terasing karena sistem sekolah; baik bagi mereka yang tak mampu karena persoalan ekonomi, atau mereka yang dicetak sekolah menjadi manusia yang dianggap penganggur. Dalam pendidikan karya, tidak ada manusia yang “dicap” sebagai pengangguran yang akan melahirkan kemiskinan. Manusia yang ada dalam pendidikan karya ini, diupayakan mengenal lingkungan alamnya, manusianya, dan dirinya, sehingga untuk mencari penghidupan atau kebutuhan dasar sandang-pangannya, tidak perlu lagi memenuhi kota yang merupakan wujud sistem sentralisasi ekonomi dan kemajuan. Pendidikan karya dengan pengenalan alamnya, secara optimis percaya akan tanah kelahirannya, bangsanya, dan negaranya akan mampu menjadi tanah kelahiran, bangsa, dan negara yang di dalamnya terdapat manusia yang memiliki karya dari penggalian potensi alam melalui komunikasi, eksperimentasi, dan pemunculan daya ciptanya yang merupakan khas dimiliki oleh manusia (dari pohon dan binatang). Proses komunikasinya dengan alam ini akan membawanya menjadi manusia yang adil dan melestarikan lingkungannya, dan dengan ini tercipta kehidupan yang seimbang antara alam dengan manusia. Pendidikan karya tmelakukan evaluasinya dengan karya nyata, tidak seperti sekolah yang hanya melakukan evaluasinya dengan kertas yang berisi nilai. Karya itupun disesuaikan dengan potensi alam dan individunya.