*DWI TUNGGAL JIWA EMAK*
"Mak, kenapa emak tidak mau cari bapak baru lagi?" tanya anak laki-lakinya yang sudah berumur dua puluh tahun itu. Ridho namanya.
"Emak kan capek, setiap pagi emak harus nyiapin sarapan buat saya yang kuliah, dan si Rani. Setelah itu Emak harus berangkat kerja, ke pabrik, yang gajinya pas-pasan!"
Emak agak terkejut mendengar pertanyaan anaknya yang setahun lagi akan lulus menjadi sarjana. Dia memang bercita-cita agar anaknya mampu melampauinya dalam kesempatan memperoleh pendidikan, yang dahulu sewaktu dia masih Remaja, tak didapatkan dari orang tuanya karena problem ekonomi. Sehingga selepas SMP, terpaksa berhenti sekolah, dan beralih membantu ibunya untuk jualan, demi membantu penghasilan rumah tangga, sebab, jika mengandalkan bapak tak mungkin, dengan gaji seorang tukang kuli pasir. Sampai akhirnya setahun setelah emak membantu berdagang, harus merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pabrik produksi bahan-bahan baju.
Emak menghela napas, dan menjawab.
"Dho, cinta itu adalah apa yang tidak terlihat, dan apa yang terlihat. Begitu dulu yang almarhum bapakmu sampaikan ketika Emak dan bapakmu baru saja menjalin hubungan."
Kata-kata ini selalu Emak ingat dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari" Sambil memandang wajah anaknya emak meneruskan.
"Apa yang tidak terlihat, berarti saat Emak sama-sama berjanji dalam pernikahan dengan bapakmu. cinta itu tidak boleh kotor, tidak boleh tersentuh, dia harus suci, dia harus abadi. Cinta adalah sesuatu yang 'ada'. Meskipun dia tidak muncul dalam kenyataan"
Wajah Ridho masih terlihat belum sepenuhnya faham, dengan apa yang Emak jelaskan.
"Maksud Emak?"
"Maksudnya, meskipun bapakmu sudah berbeda alam dengan kita, emak yakin, dia ada dalam diri Emak. Dia ada di setiap persendian tangan dan kaki emak, otot, dan dalam fikiran emak. Dia masih hidup. Bagi emak, matinya badan bapakmu, bukanlah matinya cintanya."
Mata Emak, dalam pandangan Ridho, nampak mulai merah, sepertinya fikirannya mulai masuk ke lorong waktu masalalu.
"Emak masih sangat ingat dho, setiap Emak pergi ke pabrik, bapakmu selalu bilang, 'saya minta maaf ya, karena saya bukan laki-laki yang mampu cari uang banyak', dia katakan itu dua kali sehari. Dia tidak malu mengatakan apa yang menjadi ketidakmampuannya. Bagi Emak, dia laki-laki yang sangat kuat. Karena bagi emak, kekuatan yang paling kuat, adalah berani mengatakan, kelemahan diri."
Emak mulai menetes air matanya.
"Bapak juga berulang kali menyuruh emak berhenti bekerja, dan dia berjanji akan mencari pekerjaan yang lebih besar gajinya. Tapi emak menolak dengan halus. Karena bagi emak, cinta tidak pernah menuntut. Bagi bapakmu, cinta berarti kejujuran. Sedangkan bagi Emak, cinta adalah kerelaan. Kejujuran dan kerelaan adalah samudera dan pantai."
"Mak, maafin Ridho ya. Emak jadi nangis ingat bapak." Ridho memeluk emaknya untuk mendamaikan hatinya yang sedih karena teringat bapaknya yang meninggal lima tahun lalu.
"Nggak apa, Dho, emak memang harus mengerti tentang ini. Ini waktunya emak mengungkapkan semua yang ada dalam benak emak, selama ini."
Emak sepertinya ingin menerangkan kepada anaknya tentang hakikat cinta.
"Sisi yang terlihat dari cinta, yang ada dalam diri bapakmu, emak sangat merasakannya. Setiap malam selepas emak Pulang kerja, karena jam kerja emak dua belas jam, sedangkan bapakmu hanya sampai sore saja. Dia biasanya telah pulang, karena menjadi guru sekolah dasar, hanya pulang jam tiga sore."
"Bapakmu selalu memasak untuk emak. Saat emak pulang, di meja sudah ada makanan yang siap emak makan. Dan di dekat tempat tidur emak sudah ada air hangat untuk merendam kaki emak agar tetap sehat."
"Pernah suatu saat dia sakit, dan dipaksakan mengajar (bekerja). Emak sudah melarangnya, tapi katanya, 'saya akan sakit, kalau melihat kamu bekerja sendirian'... Saya lebih sakit lagi jika murid-murid saya tidak belajar hari ini'..."
Ridho, mulai ingat bapaknya saat dia masih hidup, ini memang masih terlihat. Ridho pernah berkata, kenapa bapaknya melakukan itu.
Bapaknya hanya menjawab, bahwa hal ini sudah seharusnya dilakukan oleh seorang suami.
Ridho mulai keluar air matanya dan cepat-cepat dia menguspnya.
"Iya, Mak, Ridho masih ingat laku bapak yang itu."
"Sekali lagi maafin Ridho ya Mak, Ridho cuma pengen emak gak terlalu capek. Karena emak adalah seorang perempuan...."
Emak menyela.
"Dho, perempuan dan laki-laki adalah sama saja. Kalau laki-laki kuat tenanganya, sisi luarnya, sedangkan dalam diri seorang perempuan, ada keluwesan, keluwesan itu tidak ada batasnya."
"Tapi mak, Emak capek, karena harus pulang malam terus. Hanya untuk membiayai kuliah dan sekolah kami berdua"
"Dho, itu sudah jadi kewajiban Emak. Emak ingin kamu lebih baik dari Emak. Emak tidak sendiri, Dho. Bapakmu ada di dalam otot, sendi, menyatu dalam diri emak. Sehingga emak menjadi kuat."
"Maka tidak ada alasan bagi Emak mencari bapak baru buatmu, karena Ayahmu masih hidup, selamanya, dalam diri Emak. Sampai emak bersatu dalam keabadian"
Ridho menyeka, air mata emaknya, membawakan tisu untuknya. Dia melihat jam, Emaknya harus berangkat ke pabrik.
"Mak, Emak kerja?"
"Kerja" katanya singkat.
Sambil mengusap wajahnya dan matanya yang pucat.
"Kalau begitu ayo kita berangkat mak" Ridho memang setiap pagi mengantar ibunya untuk bekerja.
"Ya nak sebentar Emak cuci muka dulu, ya"
Kemudian mereka berangkat dan menjalani aktivitas sebagaimana biasanya.
Ridho dan Emaknya adalah kita dalam kehidupan sehari-hari. Adalah cinta yang hakiki. Dan fenomena bersatunya jiwa dua jenis dengan cinta.
Bekasi, 22 Desember 2018
Fajar Chaidir Qurrota A'yun
*Selamat Hari Ibu*
"Emak kan capek, setiap pagi emak harus nyiapin sarapan buat saya yang kuliah, dan si Rani. Setelah itu Emak harus berangkat kerja, ke pabrik, yang gajinya pas-pasan!"
Emak agak terkejut mendengar pertanyaan anaknya yang setahun lagi akan lulus menjadi sarjana. Dia memang bercita-cita agar anaknya mampu melampauinya dalam kesempatan memperoleh pendidikan, yang dahulu sewaktu dia masih Remaja, tak didapatkan dari orang tuanya karena problem ekonomi. Sehingga selepas SMP, terpaksa berhenti sekolah, dan beralih membantu ibunya untuk jualan, demi membantu penghasilan rumah tangga, sebab, jika mengandalkan bapak tak mungkin, dengan gaji seorang tukang kuli pasir. Sampai akhirnya setahun setelah emak membantu berdagang, harus merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pabrik produksi bahan-bahan baju.
Emak menghela napas, dan menjawab.
"Dho, cinta itu adalah apa yang tidak terlihat, dan apa yang terlihat. Begitu dulu yang almarhum bapakmu sampaikan ketika Emak dan bapakmu baru saja menjalin hubungan."
Kata-kata ini selalu Emak ingat dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari" Sambil memandang wajah anaknya emak meneruskan.
"Apa yang tidak terlihat, berarti saat Emak sama-sama berjanji dalam pernikahan dengan bapakmu. cinta itu tidak boleh kotor, tidak boleh tersentuh, dia harus suci, dia harus abadi. Cinta adalah sesuatu yang 'ada'. Meskipun dia tidak muncul dalam kenyataan"
Wajah Ridho masih terlihat belum sepenuhnya faham, dengan apa yang Emak jelaskan.
"Maksud Emak?"
"Maksudnya, meskipun bapakmu sudah berbeda alam dengan kita, emak yakin, dia ada dalam diri Emak. Dia ada di setiap persendian tangan dan kaki emak, otot, dan dalam fikiran emak. Dia masih hidup. Bagi emak, matinya badan bapakmu, bukanlah matinya cintanya."
Mata Emak, dalam pandangan Ridho, nampak mulai merah, sepertinya fikirannya mulai masuk ke lorong waktu masalalu.
"Emak masih sangat ingat dho, setiap Emak pergi ke pabrik, bapakmu selalu bilang, 'saya minta maaf ya, karena saya bukan laki-laki yang mampu cari uang banyak', dia katakan itu dua kali sehari. Dia tidak malu mengatakan apa yang menjadi ketidakmampuannya. Bagi Emak, dia laki-laki yang sangat kuat. Karena bagi emak, kekuatan yang paling kuat, adalah berani mengatakan, kelemahan diri."
Emak mulai menetes air matanya.
"Bapak juga berulang kali menyuruh emak berhenti bekerja, dan dia berjanji akan mencari pekerjaan yang lebih besar gajinya. Tapi emak menolak dengan halus. Karena bagi emak, cinta tidak pernah menuntut. Bagi bapakmu, cinta berarti kejujuran. Sedangkan bagi Emak, cinta adalah kerelaan. Kejujuran dan kerelaan adalah samudera dan pantai."
"Mak, maafin Ridho ya. Emak jadi nangis ingat bapak." Ridho memeluk emaknya untuk mendamaikan hatinya yang sedih karena teringat bapaknya yang meninggal lima tahun lalu.
"Nggak apa, Dho, emak memang harus mengerti tentang ini. Ini waktunya emak mengungkapkan semua yang ada dalam benak emak, selama ini."
Emak sepertinya ingin menerangkan kepada anaknya tentang hakikat cinta.
"Sisi yang terlihat dari cinta, yang ada dalam diri bapakmu, emak sangat merasakannya. Setiap malam selepas emak Pulang kerja, karena jam kerja emak dua belas jam, sedangkan bapakmu hanya sampai sore saja. Dia biasanya telah pulang, karena menjadi guru sekolah dasar, hanya pulang jam tiga sore."
"Bapakmu selalu memasak untuk emak. Saat emak pulang, di meja sudah ada makanan yang siap emak makan. Dan di dekat tempat tidur emak sudah ada air hangat untuk merendam kaki emak agar tetap sehat."
"Pernah suatu saat dia sakit, dan dipaksakan mengajar (bekerja). Emak sudah melarangnya, tapi katanya, 'saya akan sakit, kalau melihat kamu bekerja sendirian'... Saya lebih sakit lagi jika murid-murid saya tidak belajar hari ini'..."
Ridho, mulai ingat bapaknya saat dia masih hidup, ini memang masih terlihat. Ridho pernah berkata, kenapa bapaknya melakukan itu.
Bapaknya hanya menjawab, bahwa hal ini sudah seharusnya dilakukan oleh seorang suami.
Ridho mulai keluar air matanya dan cepat-cepat dia menguspnya.
"Iya, Mak, Ridho masih ingat laku bapak yang itu."
"Sekali lagi maafin Ridho ya Mak, Ridho cuma pengen emak gak terlalu capek. Karena emak adalah seorang perempuan...."
Emak menyela.
"Dho, perempuan dan laki-laki adalah sama saja. Kalau laki-laki kuat tenanganya, sisi luarnya, sedangkan dalam diri seorang perempuan, ada keluwesan, keluwesan itu tidak ada batasnya."
"Tapi mak, Emak capek, karena harus pulang malam terus. Hanya untuk membiayai kuliah dan sekolah kami berdua"
"Dho, itu sudah jadi kewajiban Emak. Emak ingin kamu lebih baik dari Emak. Emak tidak sendiri, Dho. Bapakmu ada di dalam otot, sendi, menyatu dalam diri emak. Sehingga emak menjadi kuat."
"Maka tidak ada alasan bagi Emak mencari bapak baru buatmu, karena Ayahmu masih hidup, selamanya, dalam diri Emak. Sampai emak bersatu dalam keabadian"
Ridho menyeka, air mata emaknya, membawakan tisu untuknya. Dia melihat jam, Emaknya harus berangkat ke pabrik.
"Mak, Emak kerja?"
"Kerja" katanya singkat.
Sambil mengusap wajahnya dan matanya yang pucat.
"Kalau begitu ayo kita berangkat mak" Ridho memang setiap pagi mengantar ibunya untuk bekerja.
"Ya nak sebentar Emak cuci muka dulu, ya"
Kemudian mereka berangkat dan menjalani aktivitas sebagaimana biasanya.
Ridho dan Emaknya adalah kita dalam kehidupan sehari-hari. Adalah cinta yang hakiki. Dan fenomena bersatunya jiwa dua jenis dengan cinta.
Bekasi, 22 Desember 2018
Fajar Chaidir Qurrota A'yun
*Selamat Hari Ibu*
0 Comments