PRIBUMISASI PENDIDIKAN
(Meninjau Kembali Sekolah Kita yang Terpisah Dari Dunia)
Fajar Chaidir Qurrota A’yun
(Meninjau Kembali Sekolah Kita yang Terpisah Dari Dunia)
Fajar Chaidir Qurrota A’yun
Pendidikan dalam Pengantar Dasar-dasar Pendidikan (Tim Dosen FKIP Malang, 1980) bermakna membina dan melestarikan pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat yang hidup di tempatnya masing-masing. Makna pendidikan yang merupakan pelestarian nilai budaya ini juga menjadi makna pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Karena pendidikan adalah sebuah proses yang dijalankan manusia, maka nilai-nilainya pun harus sesuai dengan nilai kemanusiaan melalui penyesuaian budaya yang berkembang di dalamnya. Pendidikan memang tak boleh lepas dari sana. Kemudian dijelaskan kembali dalam Pengantar Pendidikan (Husamah dkk: 25) oleh amanat Undang-undang Dasar 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa” lalu diulas kembali oleh UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dengan jelas menegaskan bahwa pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang memegang norma agama dan norma kemanusiaan, norma persatuan bangsa, norma kerakyatan dan demokrasi, dan norma keadilan social. Manusia Indonesia seutuhnya itu adalah manusia yang memiliki keadilan, adil dengan sesame dan dengan alam sekitarnya.
Indonesia, khususnya, dalam penyelenggaraan pendidikan, menurut saya masih belum membawa kita pada proses itu. Sekolah dalam hal ini, seperti “berjarak” dengan masyarakat. Pendidikan dalam arti yang disempitkan oleh logika umum itu adalah lembaga sekolah. Memang, lembaga sekolah dengan keadaannya yang damai, tembok yang menutup para anak-anak remaja dari persoalan hidup keluarganya sampai masyarakatnya. Menurut Ivan Illich, dalam Deschooling Societynya, sekolah yang seperti ini merupakan turunan dari konsep “mempelajari tentang dunia” bukannya “belajar dari dunia”. Sehingga tak membawa efek bagi mereka para lulusannya untuk diarahkan pada hakikat sebagaimana yang diuraikan pada paragraph pertama. Bukti riilnya adalah, sekolah tidak membawa mereka yang anak petani untuk mau bertani. Yang anak nelayan, tak mau pergi ke laut. Saya pernah membaca sebuah penelitian bahwa anak-anak remaja/pemuda, yang mau bertani sangatlah sedikit. Dari hasil penelitian itu, mereka yang mau menjadi petani hanya yang berusia sekitar 35-45 bahkan ada yang berumur 60 tahun masih bertani. Atau keadaan yang sebaliknya, mereka anak-anak nelayan dan petani yang mau membantu dan meneruskan orang tuanya, akan cenderung tidak mau sekolah. Karena bagi mereka sekolah hanya membuat waktu mereka terbuang daripada mereka bekerja sebagai nelayan atau petani yang menghasilkan dan bermanfaat bagi kehidupannya.
Ada sebuah artikel yang saya kutip dari Tirto.id berjudul “Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda” yang ditulis Akhmad Muawal Hasan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus pertanian tahun 2013 mempublik sebuah data tentang umur para petani. Dari total 26.135.469 petani yang terdata, kelompok usia 55-64 tahun memiliki jumlah absolut terbanyak yakni pada angka 7.325.544. Sedangkan pada angka di urutan kedua ada petani dengan kelompok usia 35-44 tahun berjumlah 6.885.100. Jumlah ketiga dan keempat, berada dalam kelompok berumur 55-64 tahun berjumlah 5.229.903, sementara untuk petani berumur 65 tahun lebih sebanyak 3.332.038 orang. Lalu berapa banyak petani muda? Kelompok petani berumur 25-35 sebanyak 3.129.644 orang. Kelompok yang berumur 15-24 tahun berjumlah 229.943 orang, dan kelompok di bawah usia 15 tahun berjumlah 3.297 orang. Dibandingkan data BPS sebelumnya pada tahun 2003, jumlah petani menurun drastic, sampai pada angka 5 juta orang. Jika dalam prosestase persen seperti demikian: jumlah petani usia 45 tahun lebih berada pada 60,8 persen.
Dengan jumlah demikian, bisa dipastikan umur para petani terbanyak bukanlah pada fase usia produktif. Dan untuk persoalan mengenyam pendidikan, para petani di angka 73,97 persennya hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Pertanian yang merupakan warisan dan rahmat tuhan yang diberikan pada Tuhan Yang Maha Esa denan tanah subur Indonesia, kini mulai ditinggalkan oleh kaum Muda Indonesia. Bahkan, ada orang tua yang juga petani, menyuruh anaknya agar “jangan menjadi petani”.
Pendidikan ibarat seperti kain putih yang tidak boleh tersentuh dengan para petani. Sementara jumlah Nelayan sebagaimana dikutip dalam Warta Ekonomi.co.id Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebuah kementerian yang dicetuskan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai manifestasi kesadaran bangsa maritime,berupaya agar para nelayan terus ada. Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufian, menurunnya jumlah nelayan dari 1,6 juta orang tahun 2003, hanya tersisa 800 ribu jiwa pada tahun 2013. Sungguh miris, kenyataan yang dihadapi para Nelayan yang jumlahnya semakin tipis, melihat alam Indonesia lebih banyak lautnya; laut merupakan masa depan bangsa Indonesia, mulai ditinggalkan generasi mutakhir. Petani dan Nelayan, dua profesi yang fundamental dalam ketahanan pangan Republik Indonesia berada pada fase kritis. Menurut saya, hal ini pasti berhubungan dengan sekolah kita, yang “berjalarak” atau “tidak belajar dari dunia” sebagaimana pendapat Ivan Illich. Pendidikan menjadi semakin jauh dari mereka yang ada di daerah potensial alamnya. Padahal ini merupakan peluang bangsa kita agar mampu mandiri secara ekonomi, yang merupakan dasar dari kokohnya sebuah Negara. Artinya Pendidikan dalam hal ini sekolah perlu ditinjau kembali mengenai gejala ini. Atau membuat Inovasi baru bagaimana caranya agar potensi alam kita, bias sesuai dengan kualitas sumber daya manusia untuk memajukan potensi alamnya.
Pendidikan yang merupakan transfer dan pelestarian nilai-nilai budaya ini juga terlhat pada munculnya faham-faham radikalis dan teroris yang menginfiltrasi ke segala lembaga kita, melalui manusia-manusianya, merupakan efek dari pendidikan yang terlalu “melihat ke luar”. Kita lebih bangga kalau pendidikan itu bertaraf Internasional, atau sekolah-sekolah bonafit yang padahal di dalamnya hanya diajarkan, tentang siapa mereka, tentang bagaimana mereka, dan mengapa mereka. Bukan tentang siapa kita, bagaimana kita, dan mengapa kita. Tetapi hal ini bukan berarti kita menutup diri pada dunia. Kita juga harus terbuka pada dunia. Tetapi kita harus mengenal dan memahami dunia kita terlebih dahulu, sebelum kita mengenal dunia orang lain, yang kenyataan hidupnya, keadaan dan kondisinya pasti sangat berbeda.
Lebih mirisnya, para sarjana pendidikan, yang hanya memikirkan tentang sekolah. Berapa banyak mereka yang hanya mengejar titelnya, meneliti metode-metode mengajar? Penelitian mereka selalu terkotak pada sebuah lembaga sekolah. Khususnya yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Semuanya berpacu pada sekolah. Sehingga tidak ada spirit untuk mengembangkan pendidikan, membuatnya dengan wajah baru. Bukankah sekolah hanya bagian dari pendidikan? Hal yang tidak bisa saya elak dari pengalaman saya sekolah, adalah, saya lebih banyak “merasa belajar” dari luar sekolah, bukan dari sekolah. Mungkin bisa jadi ini berbeda dengan pengalaman kalian. Tapi ada satu pertanyaan yang agaknya sulit kita jawab. Apa manfaat sekolah untuk hidup kita sehari-hari? Kalau ternyata memang kenyataannya kita bisa menghadapi kehidupan kita sehari-hari dengan tanpa sekolah. Dan lebih banyak dari pengalaman di luar sekolah.
Urbanisasi yang terjadi mengakibatkan kota menjadi sempit dan memunculkan masalah baru. Bagi saya, ini sangat berhubungan dengan perekonomian yang ada di desa mereka. Desain pendidikan seharusnya memikirkan tentang hal ini. Jika mereka mampu memperoleh penghasilan dari desa mereka yang tidak kalah dengan orang kota, tentu masalah-masalah ini akan, minimal, berkurang. Tetapi yang diajarkan sekolah, “bekerjalah di pabrik besar”. Sistem pendidikan dan sistim ekonomi kita mesti didesain dengan penyesuaian tempat. Tak ada lagi generalisasi dalam sekolah, karena menghapuskan potensi budaya dan alamnya.
Saya berpendapat, agaknya, harus ada “Pribumisasi Pendidikan” agar manusia Indonesia tidak terpisah dan berjarak dari budayanya, dan dari alamnya. Tawaran upaya ini menurut saya kita perlu melakukan hal sebagai berikut. Sebagaimana yang telah saya tuliskan dalam Esai sebelumnya yang pernah saya tulis.
Menurut Jean Piaget, salah satu tokoh Pendidikan, mengatakan bahwa Pendidikan adalah nyawa dari peradaban. Menurut Koentjaraningrat, bapak antropolog Indonesia, berpendapat, sebagaimana dikutip dari Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, yakni, Peradaban adalah hal-hal yang berhubungan dengan sesuatu yang teknis dan mekanis, seperti dalam sistim politik dan lain sebagainya. Tetapi, kita pula tak boleh melupakan bahwa Peradaban adalah sebuah sublimasi dari kebudayaan, sesuatu yang menjadi nilai, keyakinan, kepercayaan seorang manusia atau sekelompok manusia, sesuai dengan wujudnya. Pendidikan pula menjadi bagian dari lestarinya kebudayaan itu. Tanpa pendidikan tidak akan ada kebudayaan apalagi peradaban. Tentu kata pendidikan jangan disempitkan artinya dengan kata sekolah. Sebab, manusia primitif berbudaya juga, dan di masa primitif belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang. Pendidikan dalam konteks ini sangat luas, dan tak bisa memutlakkan tempat dari pendidikan yang disebut sekolah.
Pendidikan adalah bagaimana upaya pertolongan yang dilakukan oleh siapapun dan apapun terhadap manusia yang belum dewasa. Pendidikan adalah perbuatan mendidik. Dalam konteks pembahasan dalam tulisan ini, saya akan menguraikan tentang kritik terhadap pendidikan kita yang populer dan segala hal yang mempengaruhinya.
Pendidikan di Kabupaten Bekasi, atau di manapun di kota-kota lainnya, telah terpengaruh oleh sistim kapitalisme, yang sebetulnya semakin menjauhkan manusia-manusia modern dari kebudayaannya, dan dari alamnya. Yang sangat ketara (nyata), adalah terpusatnya ekonomi kapitalis. Sehingga, ini jugalah yang menjadikan manusia-manusia muda, hanya bercita-cita menjadi pekerja buruh, yang “menjanjikan” itu. Kita semakin dipisahkan dari kebudayaan asli kita, menjadi kebudayaan yang “ala kota”, dan kita menganggapnya, “ala kota” melambangkan manusia yang maju. Kebudayaan “ala kota” ini yang kemudian diresapi setiap individu dan menjadi “life style” yang mengasingkannya dari kebudayaan si manusia saat lahir. Kebijakan politik dan hukum, khususnya dalam Pendidikan, anehnya, melegalisasi pengasingan manusia dari budaya aslinya dan dari alam aslinya. Sebut saja pendidikan kejuruan yang sangat populer di kota-kota Industri, semakin diminati karena menjanjikan masa depan yang cerah. Seraya para remaja berkata: “Masuk SMK, sudah gak perlu kuliah lagi, karena sudah pasti dijamin bisa kerja”, dan saya sangat mengalami dan pernah menjadi salah satunya. Karena semakin banyaknya remaja yang bicara begitu, sehingga menjadi “nalar mainstream” anak remaja. Keadaan konsumsi yang diperebutkan banyak tangan inilah yang kemudian menimbulkan banyak pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterasingan, dan chaos. Sebetulnya, telah banyak ide-ide bagaimana mempertahankan “local wisdom” atau kearifan lokal, tetapi agaknya ini akan gagal, karena sistem pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan hukum kita tidak mengarah ke sana. Manusia yang tak mengikuti tren pendidikan ini akan menjadi makhluk yang menganggur, miskin dan terasing (dari sospolekhum). Artinya, pendidikan harus mampu menjadi problem solver dari segala kekacauan kota yang terjadi, sebagai akibat dari tersentralnya manusia-manusia dari berbagai sisi, yang awal mulanya berasal dari pendidikan itu mendidiknya.
Maka kita perlu pendidikan yang mengkonseptualisasikan antara kebutuhan dasar manusia (ekonomi), tetap melestarikan kebudayaannya, dan juga tidak terasing dari alamnya (lingkungan, tempat hidup aslinya). Selama ini kekacauan kota, seperti kemacetan, kepadatan penduduk yang diperoleh dari urbanisasi, bahkan terasing dari budaya dan alamnya menjadikan kota tak baik untuk perkembangan individu dan komunitas manusia.
Indonesia, khususnya, dalam penyelenggaraan pendidikan, menurut saya masih belum membawa kita pada proses itu. Sekolah dalam hal ini, seperti “berjarak” dengan masyarakat. Pendidikan dalam arti yang disempitkan oleh logika umum itu adalah lembaga sekolah. Memang, lembaga sekolah dengan keadaannya yang damai, tembok yang menutup para anak-anak remaja dari persoalan hidup keluarganya sampai masyarakatnya. Menurut Ivan Illich, dalam Deschooling Societynya, sekolah yang seperti ini merupakan turunan dari konsep “mempelajari tentang dunia” bukannya “belajar dari dunia”. Sehingga tak membawa efek bagi mereka para lulusannya untuk diarahkan pada hakikat sebagaimana yang diuraikan pada paragraph pertama. Bukti riilnya adalah, sekolah tidak membawa mereka yang anak petani untuk mau bertani. Yang anak nelayan, tak mau pergi ke laut. Saya pernah membaca sebuah penelitian bahwa anak-anak remaja/pemuda, yang mau bertani sangatlah sedikit. Dari hasil penelitian itu, mereka yang mau menjadi petani hanya yang berusia sekitar 35-45 bahkan ada yang berumur 60 tahun masih bertani. Atau keadaan yang sebaliknya, mereka anak-anak nelayan dan petani yang mau membantu dan meneruskan orang tuanya, akan cenderung tidak mau sekolah. Karena bagi mereka sekolah hanya membuat waktu mereka terbuang daripada mereka bekerja sebagai nelayan atau petani yang menghasilkan dan bermanfaat bagi kehidupannya.
Ada sebuah artikel yang saya kutip dari Tirto.id berjudul “Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda” yang ditulis Akhmad Muawal Hasan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus pertanian tahun 2013 mempublik sebuah data tentang umur para petani. Dari total 26.135.469 petani yang terdata, kelompok usia 55-64 tahun memiliki jumlah absolut terbanyak yakni pada angka 7.325.544. Sedangkan pada angka di urutan kedua ada petani dengan kelompok usia 35-44 tahun berjumlah 6.885.100. Jumlah ketiga dan keempat, berada dalam kelompok berumur 55-64 tahun berjumlah 5.229.903, sementara untuk petani berumur 65 tahun lebih sebanyak 3.332.038 orang. Lalu berapa banyak petani muda? Kelompok petani berumur 25-35 sebanyak 3.129.644 orang. Kelompok yang berumur 15-24 tahun berjumlah 229.943 orang, dan kelompok di bawah usia 15 tahun berjumlah 3.297 orang. Dibandingkan data BPS sebelumnya pada tahun 2003, jumlah petani menurun drastic, sampai pada angka 5 juta orang. Jika dalam prosestase persen seperti demikian: jumlah petani usia 45 tahun lebih berada pada 60,8 persen.
Dengan jumlah demikian, bisa dipastikan umur para petani terbanyak bukanlah pada fase usia produktif. Dan untuk persoalan mengenyam pendidikan, para petani di angka 73,97 persennya hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Pertanian yang merupakan warisan dan rahmat tuhan yang diberikan pada Tuhan Yang Maha Esa denan tanah subur Indonesia, kini mulai ditinggalkan oleh kaum Muda Indonesia. Bahkan, ada orang tua yang juga petani, menyuruh anaknya agar “jangan menjadi petani”.
Pendidikan ibarat seperti kain putih yang tidak boleh tersentuh dengan para petani. Sementara jumlah Nelayan sebagaimana dikutip dalam Warta Ekonomi.co.id Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebuah kementerian yang dicetuskan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai manifestasi kesadaran bangsa maritime,berupaya agar para nelayan terus ada. Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufian, menurunnya jumlah nelayan dari 1,6 juta orang tahun 2003, hanya tersisa 800 ribu jiwa pada tahun 2013. Sungguh miris, kenyataan yang dihadapi para Nelayan yang jumlahnya semakin tipis, melihat alam Indonesia lebih banyak lautnya; laut merupakan masa depan bangsa Indonesia, mulai ditinggalkan generasi mutakhir. Petani dan Nelayan, dua profesi yang fundamental dalam ketahanan pangan Republik Indonesia berada pada fase kritis. Menurut saya, hal ini pasti berhubungan dengan sekolah kita, yang “berjalarak” atau “tidak belajar dari dunia” sebagaimana pendapat Ivan Illich. Pendidikan menjadi semakin jauh dari mereka yang ada di daerah potensial alamnya. Padahal ini merupakan peluang bangsa kita agar mampu mandiri secara ekonomi, yang merupakan dasar dari kokohnya sebuah Negara. Artinya Pendidikan dalam hal ini sekolah perlu ditinjau kembali mengenai gejala ini. Atau membuat Inovasi baru bagaimana caranya agar potensi alam kita, bias sesuai dengan kualitas sumber daya manusia untuk memajukan potensi alamnya.
Pendidikan yang merupakan transfer dan pelestarian nilai-nilai budaya ini juga terlhat pada munculnya faham-faham radikalis dan teroris yang menginfiltrasi ke segala lembaga kita, melalui manusia-manusianya, merupakan efek dari pendidikan yang terlalu “melihat ke luar”. Kita lebih bangga kalau pendidikan itu bertaraf Internasional, atau sekolah-sekolah bonafit yang padahal di dalamnya hanya diajarkan, tentang siapa mereka, tentang bagaimana mereka, dan mengapa mereka. Bukan tentang siapa kita, bagaimana kita, dan mengapa kita. Tetapi hal ini bukan berarti kita menutup diri pada dunia. Kita juga harus terbuka pada dunia. Tetapi kita harus mengenal dan memahami dunia kita terlebih dahulu, sebelum kita mengenal dunia orang lain, yang kenyataan hidupnya, keadaan dan kondisinya pasti sangat berbeda.
Lebih mirisnya, para sarjana pendidikan, yang hanya memikirkan tentang sekolah. Berapa banyak mereka yang hanya mengejar titelnya, meneliti metode-metode mengajar? Penelitian mereka selalu terkotak pada sebuah lembaga sekolah. Khususnya yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Semuanya berpacu pada sekolah. Sehingga tidak ada spirit untuk mengembangkan pendidikan, membuatnya dengan wajah baru. Bukankah sekolah hanya bagian dari pendidikan? Hal yang tidak bisa saya elak dari pengalaman saya sekolah, adalah, saya lebih banyak “merasa belajar” dari luar sekolah, bukan dari sekolah. Mungkin bisa jadi ini berbeda dengan pengalaman kalian. Tapi ada satu pertanyaan yang agaknya sulit kita jawab. Apa manfaat sekolah untuk hidup kita sehari-hari? Kalau ternyata memang kenyataannya kita bisa menghadapi kehidupan kita sehari-hari dengan tanpa sekolah. Dan lebih banyak dari pengalaman di luar sekolah.
Urbanisasi yang terjadi mengakibatkan kota menjadi sempit dan memunculkan masalah baru. Bagi saya, ini sangat berhubungan dengan perekonomian yang ada di desa mereka. Desain pendidikan seharusnya memikirkan tentang hal ini. Jika mereka mampu memperoleh penghasilan dari desa mereka yang tidak kalah dengan orang kota, tentu masalah-masalah ini akan, minimal, berkurang. Tetapi yang diajarkan sekolah, “bekerjalah di pabrik besar”. Sistem pendidikan dan sistim ekonomi kita mesti didesain dengan penyesuaian tempat. Tak ada lagi generalisasi dalam sekolah, karena menghapuskan potensi budaya dan alamnya.
Saya berpendapat, agaknya, harus ada “Pribumisasi Pendidikan” agar manusia Indonesia tidak terpisah dan berjarak dari budayanya, dan dari alamnya. Tawaran upaya ini menurut saya kita perlu melakukan hal sebagai berikut. Sebagaimana yang telah saya tuliskan dalam Esai sebelumnya yang pernah saya tulis.
Menurut Jean Piaget, salah satu tokoh Pendidikan, mengatakan bahwa Pendidikan adalah nyawa dari peradaban. Menurut Koentjaraningrat, bapak antropolog Indonesia, berpendapat, sebagaimana dikutip dari Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, yakni, Peradaban adalah hal-hal yang berhubungan dengan sesuatu yang teknis dan mekanis, seperti dalam sistim politik dan lain sebagainya. Tetapi, kita pula tak boleh melupakan bahwa Peradaban adalah sebuah sublimasi dari kebudayaan, sesuatu yang menjadi nilai, keyakinan, kepercayaan seorang manusia atau sekelompok manusia, sesuai dengan wujudnya. Pendidikan pula menjadi bagian dari lestarinya kebudayaan itu. Tanpa pendidikan tidak akan ada kebudayaan apalagi peradaban. Tentu kata pendidikan jangan disempitkan artinya dengan kata sekolah. Sebab, manusia primitif berbudaya juga, dan di masa primitif belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang. Pendidikan dalam konteks ini sangat luas, dan tak bisa memutlakkan tempat dari pendidikan yang disebut sekolah.
Pendidikan adalah bagaimana upaya pertolongan yang dilakukan oleh siapapun dan apapun terhadap manusia yang belum dewasa. Pendidikan adalah perbuatan mendidik. Dalam konteks pembahasan dalam tulisan ini, saya akan menguraikan tentang kritik terhadap pendidikan kita yang populer dan segala hal yang mempengaruhinya.
Pendidikan di Kabupaten Bekasi, atau di manapun di kota-kota lainnya, telah terpengaruh oleh sistim kapitalisme, yang sebetulnya semakin menjauhkan manusia-manusia modern dari kebudayaannya, dan dari alamnya. Yang sangat ketara (nyata), adalah terpusatnya ekonomi kapitalis. Sehingga, ini jugalah yang menjadikan manusia-manusia muda, hanya bercita-cita menjadi pekerja buruh, yang “menjanjikan” itu. Kita semakin dipisahkan dari kebudayaan asli kita, menjadi kebudayaan yang “ala kota”, dan kita menganggapnya, “ala kota” melambangkan manusia yang maju. Kebudayaan “ala kota” ini yang kemudian diresapi setiap individu dan menjadi “life style” yang mengasingkannya dari kebudayaan si manusia saat lahir. Kebijakan politik dan hukum, khususnya dalam Pendidikan, anehnya, melegalisasi pengasingan manusia dari budaya aslinya dan dari alam aslinya. Sebut saja pendidikan kejuruan yang sangat populer di kota-kota Industri, semakin diminati karena menjanjikan masa depan yang cerah. Seraya para remaja berkata: “Masuk SMK, sudah gak perlu kuliah lagi, karena sudah pasti dijamin bisa kerja”, dan saya sangat mengalami dan pernah menjadi salah satunya. Karena semakin banyaknya remaja yang bicara begitu, sehingga menjadi “nalar mainstream” anak remaja. Keadaan konsumsi yang diperebutkan banyak tangan inilah yang kemudian menimbulkan banyak pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterasingan, dan chaos. Sebetulnya, telah banyak ide-ide bagaimana mempertahankan “local wisdom” atau kearifan lokal, tetapi agaknya ini akan gagal, karena sistem pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan hukum kita tidak mengarah ke sana. Manusia yang tak mengikuti tren pendidikan ini akan menjadi makhluk yang menganggur, miskin dan terasing (dari sospolekhum). Artinya, pendidikan harus mampu menjadi problem solver dari segala kekacauan kota yang terjadi, sebagai akibat dari tersentralnya manusia-manusia dari berbagai sisi, yang awal mulanya berasal dari pendidikan itu mendidiknya.
Maka kita perlu pendidikan yang mengkonseptualisasikan antara kebutuhan dasar manusia (ekonomi), tetap melestarikan kebudayaannya, dan juga tidak terasing dari alamnya (lingkungan, tempat hidup aslinya). Selama ini kekacauan kota, seperti kemacetan, kepadatan penduduk yang diperoleh dari urbanisasi, bahkan terasing dari budaya dan alamnya menjadikan kota tak baik untuk perkembangan individu dan komunitas manusia.
Salah satu penyelesaiannya adalah dengan konsep Pendidikan perspektif Filsafat Bioregionalisme, sebuah aliran Filsafat atau sistem berfikir bioreginalisme. Sebelumnya, kita akan mendifinisikan Filsafat Bioregionalisme itu apa.
Pertama, arti dari Bioregionalisme sebagai sebuah aliran atau sistem pemikiran, adalah sebuah aliran dan sistem berfikir yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah kelahiran”. Dengan begitu, kita diajak kembali untuk mengenali dan mendalami, bumi, alam, ekosistem, tempat kelahiran, tanah air, dengan segala kondisi dan kekhasannya, fauna dan floranya, iklim dan tata airnya, dan seluruh sistimnya. Sebagaimana dikutip dari Sonny Keraf, dalam Filsafat Lingkungan Hidup Bersama Fritjop Capra.
Kedua, Bioregionalisme mengajak kita untuk memahami tempat, rumah, alam, yang begitu dekat dengan hidup kita, langsung kita rasakan sebagai bagian dari alam di mana kita lahir, tumbuh, berkembang, dan dibesarkan sebagai bagian dari tempat yang unik, yang khas, yag kita sebut sebagai tanah kelahiran, tanah kampung kita.
Ketiga, Istilah Bioregionalisme ini pertama kali digunakan oleh Van Newkirk, sekitar tahun 1970an. Newkirk memahami bioregionalisme ini sebagai sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografis. Kemudian istilah ini diperjelas oleh Peter Berg dan Raymond Dasmann, pada tahun 1977 melalui artikel yang berjudul “Reinhabiting California”.
Keempat, menurut Peter dan Dasmann, prinsip Bioregionalisme ini adalah “living in place” (hidup di tempat), “Reinhabitation” (mendiami kembali). Hidup di tempat yang dimaksudkan adalah, hidup mengikuti keniscayaan, dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik di mana setiap orang berada, dan mengembangkan cara-cara untuk memastikan bagaimana setiap orang hidup selamanya, di tempat itu; dan selalu akan menjaga keseimbangan daya dukung tempat itu melalui hubungan mendalam antara kehidupan manusia beserta seluruh aktivitasnya dengan seluruh kehidupan lain di sekitarnya, bahkan, proses cuaca, musim, siklus air, yang telah tersingkap di tempat itu. Dan prinsip mendiami kembali, dimaksudkan, belajar kembali hidup di tempat, wilayah, yang telah dirusak dan dihancurkan oleh karena eksploitasi di masa-lalu. Dan inti dari Filsafat Bioreginoalisme adalah “menjaga tempat”.
Dengan Filsafat ini, kita bisa menyusun kembali konsep pendidikan yang “tidak lupa akan buminya”, akan kebudayaannya, serta dari sana, kita akan mampu melawan keterasingan, kemiskinan, dan istilah pengangguran yang hanya ada di masyarakat “industri”, sehingga masyarakat menjadi (menganut faham) sentrisme. Konsep pendidikan ini merupakan sebuah bentuk perlawanan kepada pendidikan populer dan juga sebagai bentuk bagaimana menyelesaikan persoalan kota yang “kompleks”.
Dalam analisis saya, semisal, di Kabupaten Bekasi, kita bisa memetakan tempat hidup kita dan disesuaikan dengan pendidikannya. Ada satu sekolah yang menurut saya unik dan berbeda dari sekolah “mainstream”. Sekolah ini memang tidak populer, tetapi bagi saya sekolah ini patut dijadikan contoh, nama sekolahnya SMK AT-TAUFIK. Sekolah ini juga mengadakan pendidikan Islam tradisional, yakni pesantren. Dengan letaknya di daerah kecamatan Sukawangi, yang secara geografis dan potensi alamnya pertanian, pendidikan ini mengajarkan kita supaya anak-anak remaja faham akan potensinya, agar mampu mengelola alamnya, mendiami tempat hidupnya, menjaga keseimbangan alamnya, kebudayaan ekonominya, dan juga sebuah sikap mandiri yang juga melawan sistim hidup di kota sebesar dan seindustri kabupaten Bekasi. Sayangnya, masyarakat kita sangat disusupi doktrin-doktrin modernisasi ekonomi, bahwa, “anak yang sukses adalah yang bisa bekerja di pabrik, dan yang mampu menjadi 'orang kota'." Akhirnya sekolah ini hanya punya sedikit murid, dan sangat jarang orang tua menyuruh anaknya menjadi petani. Kecenderungan ini menurut saya sudah tidak aneh lagi, karena tidak dibantu dengan kekuatan dari segala sistim (ekonomi-sosial-politik-hukum), ya, inilah resiko dari melawan pola “mainstream” yang sudah mengakar pada masyarakat Industri.
Dengan memakai konsep Pendidikan perspektif Filsafat Bioregionalisme, kita akan mampu memahami potensi lokal, dan mempertahankan alam, serta budaya yang hidup di masyarakat kita, sekaligus membantu menyelesaikan persoalan kota yang agaknya adalah “akibat” dari kelalaian masa lalu. Industrialisasi sebagai model pembangunan sudah berpuluh tahun hidup di masyarakat kita, sehingga untuk melawannya diperlukan semua disiplin ilmu dan semua otoritas instansi, lembaga, organisasi untuk melawannya.
Yang lebih lucu di daerah tempat saya hidup, di Cikarang. Cikarang adalah jantungnya kabupaten Bekasi. Cikarang, dahulu, sangat berbeda dengan cikarang sekarang, akibat adanya Industrialisasi itu. Konyolnya sistim pendidikan di sini (Cikarang) mengarahkan remajanya bukan untuk mempertahankan, dan mendiami tempat asli hidupnya, malah justru merusak, meninggalkan, bahkan ikut mendukung eksploitasi itu. Terbukti dari menjamurnya sekolahan teknik, yang melestarikan dan berlawanan dengan prinsip bioregionalisme ini. Tetapi, saya meyakini, masih ada harapan untuk kita “reinhabitation”, memulihkan kota tempat lahir saya. Salah satu upayanya adalah implementasi konsep bioregionalisme, sesuai dengan potensi Industrinya, dengan cara yang berlawanan. Upaya ini lebih kepada pengobatan, dan pelestarian kembali alam tempat hidup, serta mempertahankan budaya lokal yang ada. Mempertahankan lahan-lahan yang masih dimiliki masyarakat sebagai tanahnya dan dari sana dia hidup, meskipun sudah sangat sedikit.
Potensi kabupaten Bekasi sangat cocok dengan ini, melihat potensi alamnya, ada tanah yang subur, dan laut di sebelah utara, tepatnya di kecamatan Muara Gembong. Yang lebih penting lagi, saya ingin menyuarakan kepada pembuat kebijakan pendidikan tingkat daerah untuk memperhatikan ini. Berapa banyak lagi lahan masyarakat yang akan dibajak dan berapa banyak lagi mereka yang tertipu akan “uang sesaat”, serta berapa banyak lagi para remaja yang menganggur, menjadi miskin, dan terasing?
Kebijakan pendidikan model ini perlu dikuatkan oleh para praktisi pendidikan, guru-guru, kepala sekolah, para tokoh muda, tokoh agama, dan semua element sosial untuk kehidupan manusia di Bekasi yang lebih baik lagi.
Tawaran atas solusi pendidikan ini saya bagi ke dalam dua jalan. Pertama jalan perbaikan di luar sekolah. Yakni menciptakan model pendidikan yang baru, yang berupaya agar ada pendidikan yang cocok untuk mereka yang ada bersama alam dan menjalani hidupnya dari alam. Di satu sisi, kita akan melawan bentuk dominasi yang telah dijalankan oleh pengusaha asing yang telah masuk di Negara kita dengan penguasaan terhadap tanah dan laut. Manusia Indonesia tidak boleh lebih banyak lagi dipekerjakan mereka. Manusia Indonesia harus menjadi tuan di Negaranya dengan pendidikan yang mendukungnya.
Jalan kedua adalah dengan penyesuaian sekolah, guru, kurikulum, pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran dan sistim evaluasi yang cocok dan mengadaptasi alamnya. Murid jangan melulu berada dalam kelas untuk mempelajari tentang dunia. Tapi harus belajar dari dunia.
Lalu bagaimana tanggapan kita tentang keadaan Global? Sebetulnya perpanjangan tangan dari globalisasi merupakan “yang Nampak” di depan mata kita. Khususnya beranjak dari Globalisasi ekonomi, yang merupakan wujud dari “hokum pasar”, sebagaimana yang pernah say abaca dalam buku Pengantar Ekonomi, dikemukakan teori Adam Smith dalam Wealth Of Nation-nya menjelaskan tentang hokum pasar bebas. Kapitalis tingkat tertinggi yang dipegang oleh Multi Nasional Corporation (MNC), merupakan penguasa ekonomi tingkat global. Konsekuensi dari korporasi ini kemudian menjalar sampai ke desa-desa kita. Tangan-tangan mereka yang sampai melalui kebijakan internasional yang diembang oleh WTO, International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, menjadi jalan bagi mereka (MNC) masuk ke Negara dunia kelas tiga. Sebagaimana dikemukakan dalam buku Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa Depan Kekayaan Alam Indonesia (Wahyuni Refi & Ziyad Falahi, 2014) di dalamnya dikutip melalui Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer (Harvey & David. 2010) mereka para pemodal berupaya menciptakan “Spatio Temporal Fix”, agar tetap bisa menciptakan ruang baru untuk mengeksploitasi alam di bumi Negara dunia ketiga.
Dengan dasar dari fenomena inilah kemudian terlahir ide untuk menuliskan bagaimana caranya agar pendidikan mampu menghadapi ancaman global yang terjadi di Negara dunia ketiga, termasuk Indonesia di dalamnya. Negara yang kaya alamnya, namun rendah Sumber Daya Masyarakatnya, di sinilah peranan pendidikan untuk memajukan bangsa dan Negara dari keterpurukan yang terjadi.
Untuk itu Urgensi dari Pribumisasi Pendidikan adalah untuk menyadarkan, sekaligus menjaga para generasi bangsa dan masyarakat dari penguasaan, dan pengrusakan berlebihan kepada apa yang terjadi hari ini. Untuk pendalaman inovasi pendidikan saya akan tulis lagi di kemudian hari. Saya menyadari bahwa banyak kekurangan dalam uraian ini, karena sebab dari kurangnya ilmu yang saya miliki.
Pertama, arti dari Bioregionalisme sebagai sebuah aliran atau sistem pemikiran, adalah sebuah aliran dan sistem berfikir yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah kelahiran”. Dengan begitu, kita diajak kembali untuk mengenali dan mendalami, bumi, alam, ekosistem, tempat kelahiran, tanah air, dengan segala kondisi dan kekhasannya, fauna dan floranya, iklim dan tata airnya, dan seluruh sistimnya. Sebagaimana dikutip dari Sonny Keraf, dalam Filsafat Lingkungan Hidup Bersama Fritjop Capra.
Kedua, Bioregionalisme mengajak kita untuk memahami tempat, rumah, alam, yang begitu dekat dengan hidup kita, langsung kita rasakan sebagai bagian dari alam di mana kita lahir, tumbuh, berkembang, dan dibesarkan sebagai bagian dari tempat yang unik, yang khas, yag kita sebut sebagai tanah kelahiran, tanah kampung kita.
Ketiga, Istilah Bioregionalisme ini pertama kali digunakan oleh Van Newkirk, sekitar tahun 1970an. Newkirk memahami bioregionalisme ini sebagai sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografis. Kemudian istilah ini diperjelas oleh Peter Berg dan Raymond Dasmann, pada tahun 1977 melalui artikel yang berjudul “Reinhabiting California”.
Keempat, menurut Peter dan Dasmann, prinsip Bioregionalisme ini adalah “living in place” (hidup di tempat), “Reinhabitation” (mendiami kembali). Hidup di tempat yang dimaksudkan adalah, hidup mengikuti keniscayaan, dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik di mana setiap orang berada, dan mengembangkan cara-cara untuk memastikan bagaimana setiap orang hidup selamanya, di tempat itu; dan selalu akan menjaga keseimbangan daya dukung tempat itu melalui hubungan mendalam antara kehidupan manusia beserta seluruh aktivitasnya dengan seluruh kehidupan lain di sekitarnya, bahkan, proses cuaca, musim, siklus air, yang telah tersingkap di tempat itu. Dan prinsip mendiami kembali, dimaksudkan, belajar kembali hidup di tempat, wilayah, yang telah dirusak dan dihancurkan oleh karena eksploitasi di masa-lalu. Dan inti dari Filsafat Bioreginoalisme adalah “menjaga tempat”.
Dengan Filsafat ini, kita bisa menyusun kembali konsep pendidikan yang “tidak lupa akan buminya”, akan kebudayaannya, serta dari sana, kita akan mampu melawan keterasingan, kemiskinan, dan istilah pengangguran yang hanya ada di masyarakat “industri”, sehingga masyarakat menjadi (menganut faham) sentrisme. Konsep pendidikan ini merupakan sebuah bentuk perlawanan kepada pendidikan populer dan juga sebagai bentuk bagaimana menyelesaikan persoalan kota yang “kompleks”.
Dalam analisis saya, semisal, di Kabupaten Bekasi, kita bisa memetakan tempat hidup kita dan disesuaikan dengan pendidikannya. Ada satu sekolah yang menurut saya unik dan berbeda dari sekolah “mainstream”. Sekolah ini memang tidak populer, tetapi bagi saya sekolah ini patut dijadikan contoh, nama sekolahnya SMK AT-TAUFIK. Sekolah ini juga mengadakan pendidikan Islam tradisional, yakni pesantren. Dengan letaknya di daerah kecamatan Sukawangi, yang secara geografis dan potensi alamnya pertanian, pendidikan ini mengajarkan kita supaya anak-anak remaja faham akan potensinya, agar mampu mengelola alamnya, mendiami tempat hidupnya, menjaga keseimbangan alamnya, kebudayaan ekonominya, dan juga sebuah sikap mandiri yang juga melawan sistim hidup di kota sebesar dan seindustri kabupaten Bekasi. Sayangnya, masyarakat kita sangat disusupi doktrin-doktrin modernisasi ekonomi, bahwa, “anak yang sukses adalah yang bisa bekerja di pabrik, dan yang mampu menjadi 'orang kota'." Akhirnya sekolah ini hanya punya sedikit murid, dan sangat jarang orang tua menyuruh anaknya menjadi petani. Kecenderungan ini menurut saya sudah tidak aneh lagi, karena tidak dibantu dengan kekuatan dari segala sistim (ekonomi-sosial-politik-hukum), ya, inilah resiko dari melawan pola “mainstream” yang sudah mengakar pada masyarakat Industri.
Dengan memakai konsep Pendidikan perspektif Filsafat Bioregionalisme, kita akan mampu memahami potensi lokal, dan mempertahankan alam, serta budaya yang hidup di masyarakat kita, sekaligus membantu menyelesaikan persoalan kota yang agaknya adalah “akibat” dari kelalaian masa lalu. Industrialisasi sebagai model pembangunan sudah berpuluh tahun hidup di masyarakat kita, sehingga untuk melawannya diperlukan semua disiplin ilmu dan semua otoritas instansi, lembaga, organisasi untuk melawannya.
Yang lebih lucu di daerah tempat saya hidup, di Cikarang. Cikarang adalah jantungnya kabupaten Bekasi. Cikarang, dahulu, sangat berbeda dengan cikarang sekarang, akibat adanya Industrialisasi itu. Konyolnya sistim pendidikan di sini (Cikarang) mengarahkan remajanya bukan untuk mempertahankan, dan mendiami tempat asli hidupnya, malah justru merusak, meninggalkan, bahkan ikut mendukung eksploitasi itu. Terbukti dari menjamurnya sekolahan teknik, yang melestarikan dan berlawanan dengan prinsip bioregionalisme ini. Tetapi, saya meyakini, masih ada harapan untuk kita “reinhabitation”, memulihkan kota tempat lahir saya. Salah satu upayanya adalah implementasi konsep bioregionalisme, sesuai dengan potensi Industrinya, dengan cara yang berlawanan. Upaya ini lebih kepada pengobatan, dan pelestarian kembali alam tempat hidup, serta mempertahankan budaya lokal yang ada. Mempertahankan lahan-lahan yang masih dimiliki masyarakat sebagai tanahnya dan dari sana dia hidup, meskipun sudah sangat sedikit.
Potensi kabupaten Bekasi sangat cocok dengan ini, melihat potensi alamnya, ada tanah yang subur, dan laut di sebelah utara, tepatnya di kecamatan Muara Gembong. Yang lebih penting lagi, saya ingin menyuarakan kepada pembuat kebijakan pendidikan tingkat daerah untuk memperhatikan ini. Berapa banyak lagi lahan masyarakat yang akan dibajak dan berapa banyak lagi mereka yang tertipu akan “uang sesaat”, serta berapa banyak lagi para remaja yang menganggur, menjadi miskin, dan terasing?
Kebijakan pendidikan model ini perlu dikuatkan oleh para praktisi pendidikan, guru-guru, kepala sekolah, para tokoh muda, tokoh agama, dan semua element sosial untuk kehidupan manusia di Bekasi yang lebih baik lagi.
Tawaran atas solusi pendidikan ini saya bagi ke dalam dua jalan. Pertama jalan perbaikan di luar sekolah. Yakni menciptakan model pendidikan yang baru, yang berupaya agar ada pendidikan yang cocok untuk mereka yang ada bersama alam dan menjalani hidupnya dari alam. Di satu sisi, kita akan melawan bentuk dominasi yang telah dijalankan oleh pengusaha asing yang telah masuk di Negara kita dengan penguasaan terhadap tanah dan laut. Manusia Indonesia tidak boleh lebih banyak lagi dipekerjakan mereka. Manusia Indonesia harus menjadi tuan di Negaranya dengan pendidikan yang mendukungnya.
Jalan kedua adalah dengan penyesuaian sekolah, guru, kurikulum, pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran dan sistim evaluasi yang cocok dan mengadaptasi alamnya. Murid jangan melulu berada dalam kelas untuk mempelajari tentang dunia. Tapi harus belajar dari dunia.
Lalu bagaimana tanggapan kita tentang keadaan Global? Sebetulnya perpanjangan tangan dari globalisasi merupakan “yang Nampak” di depan mata kita. Khususnya beranjak dari Globalisasi ekonomi, yang merupakan wujud dari “hokum pasar”, sebagaimana yang pernah say abaca dalam buku Pengantar Ekonomi, dikemukakan teori Adam Smith dalam Wealth Of Nation-nya menjelaskan tentang hokum pasar bebas. Kapitalis tingkat tertinggi yang dipegang oleh Multi Nasional Corporation (MNC), merupakan penguasa ekonomi tingkat global. Konsekuensi dari korporasi ini kemudian menjalar sampai ke desa-desa kita. Tangan-tangan mereka yang sampai melalui kebijakan internasional yang diembang oleh WTO, International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, menjadi jalan bagi mereka (MNC) masuk ke Negara dunia kelas tiga. Sebagaimana dikemukakan dalam buku Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa Depan Kekayaan Alam Indonesia (Wahyuni Refi & Ziyad Falahi, 2014) di dalamnya dikutip melalui Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer (Harvey & David. 2010) mereka para pemodal berupaya menciptakan “Spatio Temporal Fix”, agar tetap bisa menciptakan ruang baru untuk mengeksploitasi alam di bumi Negara dunia ketiga.
Dengan dasar dari fenomena inilah kemudian terlahir ide untuk menuliskan bagaimana caranya agar pendidikan mampu menghadapi ancaman global yang terjadi di Negara dunia ketiga, termasuk Indonesia di dalamnya. Negara yang kaya alamnya, namun rendah Sumber Daya Masyarakatnya, di sinilah peranan pendidikan untuk memajukan bangsa dan Negara dari keterpurukan yang terjadi.
Untuk itu Urgensi dari Pribumisasi Pendidikan adalah untuk menyadarkan, sekaligus menjaga para generasi bangsa dan masyarakat dari penguasaan, dan pengrusakan berlebihan kepada apa yang terjadi hari ini. Untuk pendalaman inovasi pendidikan saya akan tulis lagi di kemudian hari. Saya menyadari bahwa banyak kekurangan dalam uraian ini, karena sebab dari kurangnya ilmu yang saya miliki.
Wallahu A’lam.
0 Comments