(Sebuah Tinjauan Sekolah dari mulai Sejarah sampai fenomena terkini)

Sekolah (dengan sistimnya), yang selama ini kita banggakan dengan harapan bisa membentuk kepribadian yang berakhlakul karimah dan seterusnya memaksa kita kembali menyorotnya lebih-dalam. Darmaningtyas dalam Pendidikan Yang Memiskinkan berpendapat, sejak kebijakan orde lama muncul, dengan Presidennya Ir. Sukarno untuk "mencerdaskan warganya" sebagaimana termaktub dalam Preambule alinea ke 4 UUD 1945; terhitung sejak dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1950 tentang Pokok-pokok pengajaran di sekolah junto UU No. 12 tahun 1954 tentang pelaksanaan UU No. 4 tahun 1950; dan dari sini-lah dimulainya babak fenomena "kewajiban" sekolah yang dikeluarkan pemerintah telah berlaku bagi segenap warga-negara. Tetapi, siapa sangka dalam perjalanannya, dengen berbagai fase "gonta-ganti" aturan, justru banyak menimbulkan titik hitam dalam wajah pendidikan kita.

Baru-baru ini, kasus Bullying yang menimpa Audrey adalah salah satu fakta dari fenomena, yang bagi beberapa orang (yang hanya) bersifat partikular; tapi bagi saya justru ke-partikular-annya bisa dianggap konsisten. Bukan omong kosong beberapa bukti yang diwartakan media mengenai fenomena persekolahan: mulai dari tawuran yang saya sendiri pernah menjadi korbannya, sampai sekarang masih jadi hal yang "biasa". Penjeblosan guru ke penjara yang dilakukan siswanya, amoralitas siswa SMP yang terjadi pada bulan lalu, dan yang baru terjadi beberap hari lalu menimpa gadis malang bernama Audrey. Itu hanya kekerasan yang ada di sekolah tingkat menengah. Belum lagi, OSPEK yang setiap tahunnya menyebabkan nyawa melayang pada tingkatan perguruan tinggi. Kita bisa Chek and Re-chek langsung ke media yang memberitakan itu di internet, terpampanglah jelas track-record perguruan tinggi kita.

Saya tidak akan bicara banyak dan mempersoalkan Bullying-nya. Sebab, saya yakin, mereka semua adalah korban dari perilaku mereka sendiri. Agaknya kita lupa bahwa banyak macam kekerasan yang luput dari mata di dunia pendidikan "absolut" kita yang disebut sekolah. Lembaga yang kita puja-puja dapat menghantar pada kepribadian yang baik, religius, humanistik, bahkan Pancasilais; sebuah cita-cita agung bagi bangsa yang sedang mengalami kemajuan ini. Tetapi dalam faktanya, kita harus berusaha keras untuk membenahi persoalan persekolahan.

Sekolah, dalam sejarahnya, sebagaimana diungkapkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam magnum opus-nya, Api Sejarah jilid I, adalah hasil proyek kolonialisme di Nusantara, lebih khususnya pertama sekali dicetuskan oleh orang-orang Belanda yang menjajah kita selama 4-5 abad (hitungannya bukanlah dari Belanda, tetapi semenjak Portugis). Bukan 3,5 abad. Terlalu ahistoris menghilangkan catatan penindasan sekaligus perjuangan para pahlawan, jika waktu yang dicatat sejarah, hanya 3,5 abad. Salah satu kekurangan di mata pelajaran anak-anak di sekolah. Mengapa kita hanya diajarkan bahwa penjajahan itu 3,5 abad, bukan 4-5 abad. Bagaimana bisa dikatakan 3,5 abad, jika pada tahun 1527 Kanjeng Sunan Gunung Jati bersama menantunya berperang mengusir penjajah pada tanggal 22 Juni 1527 di Sunda Kelapa. Fakta sejarah ini, tentu tidak diajarkan di buku anak-anak sekolah, atau mungkin ada, tapi, tak diuraikan secara jelas oleh para guru di sekolah (tidak semua guru tentunya).

Proyek penjajahan yang berupa sekolah ini, selanjutnya, difungsikan untuk mendidik bangsa kita, dalam memenuhi kebutuhan penjajahannya. Dari mulai mengurus soal pemerintahan Hindia-belanda, sampai memata-matai siapa saja yang berniat melawan.

Begitulah fakta sejarah sekolah. Lalu apa bangsa kita tak punya cara untuk mendidik? Punya! Bangsa kita punya Pesantren sebagai wadah masyarakat untuk mendidik dirinya serta belajar mencintai bangsa. Bahkan pesantren jadi basis perlawanan terhadap penjajah. Pesantren dipelpori oleh Sunan Maulana Malik Ibrohim pada sekitar abad 15 Masehi.

Sekolah-sekolah yang tujuannya untuk membantu proses kolonialisme itu kemudian dibolehkan pada kasta masyarakat yang bangsawan. Oleh karenanya eksklusifitas sekolah ini banyak kemudian sebagaimana diungkapkan  Tilaar dalam Pedagogik Untuk Indonesia bahwa beberapa pemikir pendidikan kita mendirikan sekolah agar sekolah dari kolonial yang diskriminatif dan rasis, bisa didapatkan pula oleh orang Asli Indonesia. Diantaranya INS Kayu Tanam yang digagas oleh Moh. Syafe'i; dan yang paling kita kenal, Taman Siswa rintisan Suwardi Suryaningrat dari kalangan bangsawan Jawa.

Jika berkaca dalam sejarah, saya juga aneh, mengapa justru prioritas pemerintah pada pendididikan di bawah Kemendikbud, adalah sekolah yang justru akar sejarahnya warisan kolonialisme, sementara Pesantren, ada di bawah Kementrian Agama, yang kucuran APBN-nya harus dibagi-bagi ke seluruh pelosok Indonesia. Padahal pesantren jelas dalam histori bangsa kita menyumbang perjuangan yang tak pantang mundur dalam perlawanan terhadap penjajah.

Kembali pada kekerasan di sekolah. Pierre Bordieau seorang filsuf dan Sosiolog Pendidikan dalam Nanang Martono "Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Tinjauan Sosiologi Pierre Bordeauu" mengatakan bahwa buku-buku yang secara visual dibaca, dikonsumsi oleh anak-anak sekolah kita, bias kelas, atau cenderung memvisualisasikan kekerasan simbolik dalam gambar-gambar yang ditunjukkan. Kita bisa meninjau kembali kebenarannya. Ketika memviasualisasikan Petani, Pedagang, dalam deskripsi buku tersebu cenderung digambarkan sebagai kelas bawah dalam strata sosial masyarakat. Sedangkan ketika kita misalnya melihat dan membaca visualisasi dari kata: "Ini Ayah Budi" sudah dapat diprediksi bahwa ayahnya digambarkan pada kelas menengah atas dan digambarkan pula keadaan rumah yang serba kecukupan, misalnya, Kulkas, TV, Radio yang pasti tidak dimiliki oleh murid yang berasal dari keluarga miskin. Sehingga ini juga yang merangsang Imajinasi mereka untuk tidak mau lagi menjadi Petani, karena visualisasinya Petani dideskripsikan dari kalangan bawah. Selain itu, ada tugas liburan yang juga sarat kekerasan simbolik, misalnya "berlibur ke rumah nenek", nenek dalam arti kata tinggal di desa, dan murid tinggal di kota, atau malah kebiasaan berlibur hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berasal dari kalangan mapan. Hal inilah yang menarik perhatian sosiolog Pierre Bordeauu dalam dunia Pendidikan khususnya di Sekolah.

Permasalahan kekerasan yang merupakan perilaku amoral di sekolah, tentu mengusik otak kita untuk berfikir, " kok bisa, di tempat yang baik, dan yang fokus mendidik, anak-anak menjadi amoral, bukannya mereka telah diajarkan moral oleh guru dan aturan untuk disiplin yang tujuannya agar menjadi manusia yang baik" tapi siapa sangka fakta yang menunjukkan cita-cita itu, merupakan kebalikannya? Apa yang salah dari pendidikan kita?

Persoalan tentang kekerasan yang terjadi pada Audrey, bisa jadi akibat gagalnya mata pelajaran yang diberikan sekolah, khususnya Guru, dalam beberapa hal. Pertama, kita (kebanyakan Guru-guru) masih menganut prinsip otoritas di dalam kelas, yang dalam kajian Sosiologi Pendidikan disebut Teacher-oriented. Sebab dari otoritas yang berlebihan ini memang menjadikan anak-anak menurut pada gurunya di kelas, tetapi minim kesadaran belajar dan internalisasi dari mata pelajaran yang diberikan. Guru dengan tipikal seperti ini, kecenderungannya adalah memberikan mata pelajaran (deskripsinya) dengan bentuk indoktrinatif. Doktrin-doktrin tentang moralitas yang diberikan memang terdengar di telinga para murid. Tetapi penghayatannya sangat sedikit dirasakan murid, karena "takut" dengan guru dan terpaksa mendengarkan. Selain itu, beberapa oknum guru, belum mampu memberikan inti dari apa yang diajarkan mereka dalam buku-buku, yaitu "keteladanan". Teman saya bahkan, seperkuliahan mencontohkan anak-anaknya untuk mengibarkan bendera salah satu organisasi terlarang pada anak muridnya di tingkat sekolah dasar. Banyak guru yang mengajar, tapi lupa untuk belajar, dan tak tahu cara bagaimana untuk mendidik yang cocok dengan umur dan kondisi anak. Dari sinilah kemudian fenomena Audrey pada kasus Bullying yang dilakukan oleh teman-temannya yang juga korban, memperlihatkan implikasinya.

Selanjutnya, sekolah (dan juga pemerintah), justru membatasi guru seperti "robot". Mengapa? Guru dipaksa untuk tertib administrasi, dan mengejar kurikulum. Tentu ini bagus jika dalam pelaksanaannya tak mengganggunya untuk mendidik anak. Tapi hal ini membuat guru menjadi semacam buruh asuh anak, yang harus mencapai target. Harus ada perbaikan, misalnya, petugas administrasi yang khusus memberikan guru-guru RPP sampai laporan. Saya yakin, hal ini dapat dilakukan jika pemerintah mau memperbaiki sistim yang tidak cocok untuk diterapkan. Pemerintah kita masih menggunakan otoritasnya dalam pengambilan kebijakan (meskipun benar). Tapi ini kurang memenuhi sekolah dan guru serta masyarakat yang anaknya disekolahkan untuk ikut serta dalam rencana pengambilan kebijakan. Rasanya orang tua saya, selama saya sekolah, belum pernah diajak bicara serius oleh pihak sekolah, kecuali urusan bayaran anaknya yang belum dilakukan.

Ternyata, kekerasan di dunia sekolah kita, sekarang bukan hal yang menarik bagi media. Hanya mewartakan beberapa waktu, setelah itu tetap pada tema temporal, Pilpres yang kadang tidak edukatif dan penting. Kita juga tentu harus bertanya, mengapa kita suka dengan berita yang "bad news good news".

Bagi saya, kejadian kekerasan ini akan terus terjadi tanpa perbaikan sistim sekolah, praktik mengajar, buku-bukunya dan seluruhnya yang membutuhkan perbaikan. Oleh sebabnya wajar jika Ivan Illich mengeluarkan pendapatnya untuk " Deschooling Society". Roem dalam Sekolah itu Candu-nya, dan Darmaningtyas yang mengatakan sekolah dan fenomenanya sebagai "Pendidikan Yang Memiskinkan", dan benarlah menurut Profesor Mochtar Buchori, pendidikan kita masih anti dengan kritik atau kajian kritis. Semoga pemikiran mereka tidak kita baca sebagai sesuatu yang pesimistik, dan kita cenderung anti-kritik. Karena dalam negara yang demokratis, kritik datang untuk perbaikan, sebagaimana dikatakan Sokrates yang mengajarkan bahwa kita perlu kiritik untuk diri kita dengan ungkapan: " Yang aku tahu, aku tidak tahu, apa-apa!", sebuah adagium "self criticism" yang membuat kita ingat, bahwa manusia aka terus berada pada fase menjadi (becoming). Begitu pula pendidikan kita yang terus harus diperbaiki.

Bangunlah Pendidikan Indonesia, bukan (hanya) sekolah Indonesia!
Wallahu A'lam


Bekasi, 10 April 2019

Fajar Chaidir Qurrota A'yun
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
STAI Haji Agus Salim Cikarang
Semester Unlimited