Setiap akhir tahun, ialah moment yang banyak di-raya-raya-kan oleh banyak orang, sesuai dengan sikap mereka terhadap penutup akhir tahun; Sekaligus penyambutan pembuka akhir tahun. Dari gaya hedonisme sampai gaya sinisme semua menyikapi menutupnya tahun dan dimulainya tahun, dari yang paling bebas sampai yang paling ekstrim berdalil dengan pemubahan dan pengharaman. Istimewanya, tahun ini (penghujung tahun 2019 dan awal tahun 2020) semua isme-isme yang biasa komentar soal tahun baru harus ini-itu, atau mereka yang no comment soal tahun baru, disatukan dalam kepentingan yang sama (baca: common interest), sekaligus ada perasaan menderita yang dialami bersama, dan memiliki musuh sama secara serentak(common enemy). Benar saja, karena yang kita saksikan sebagai penutup dan pembuka tahun ialah"Hujan Panjang" yang terjadi 2 hari tanpa henti.
Agaknya, Manusia tidak hanya didisain seperti mesin (yang mekanis), yang secara otomatis bekerja sesuai programnya; manusia merupakan makhluk yang dinamis, dan cenderung belajar dari problem hidup yang dihadapinya. Ketika hujan turun, manusia tidak langsung terbayang pertanyaan, "Apakah air hujan tidak akan meluap dari aliran-aliran sungai?" atau, "apakah sungai, tanggul, bendungan, gorong-gorong, comberan dan sejenisnya, mampu menampung air hujan?" tidak! Bukan itu yang diingat. Ya karena manusia tidak akan mau mengingat-ngingat yang "melelahkan" dan membuatnya repot. Anak mudanya sekalipun, yang dinobatkan sebagai penerus bangsa, paling banter hanya memikirkan kisah cinta masa lalunya, yang paling praktis mereka tahu bahwa paling enak ketika hujan datang adalah "tarik selimut".
Menarik kiranya Thorndike 1871 (psikolog Amerika aliran behaviorisme) dalam hukum psikologinya memberikan keterangan tentang hukum pengaruh (law of effect) yang menjelaskan koneksi antara stimulus dan respons sebagai konsekuensi dari respons. Dengan bunyi hukum: " jika suatu respons diikuti oleh keadaan yang memuaskan (satisfying state of affairs) kekuatan koneksi akan bertambah; dan jika respons diikuti dengan keadaan tidak memuaskan atau menjengkelkan (annoying state of affairs) maka kekuatan koneksi akan menurun atau melemah." Hukum pengaruh yang dijelaskan oleh psikolog di atas simpelnya menyatakan bahwa manusia akan cenderung menginginkan sesuatu yang enak. Tentu lawan katanya, tidak menginginkan sesuatu yang tidak enak. Dengan begitu manusia akan memendam dalam ketidaksadarannya sesuatu yang tidak enak pada pengalamannya, dan sesuatu yang enak terus dimunculkannya dalam wilayah kesadarannya. Tentu saja, kita membenarkan (tetapi boleh saja meragukan), apa yang dikatakan di atas. Kan, pengalaman yang "nggak" enak, sakit, sebagai orang normal, tentu inginnya melupakan toh? Pengalaman yang indah dan menyenangkan terus diingat bahkan cenderung diulang! Itulah mengapa orang-orang pada saat hujan terjadi, lebih memikirkan, mengingat, dan melakukan apa yang enak, simpel, indah menurutnya.
Hanya adik-adik kita yang masih Sekolah Dasar, (itupun yang sedang belajar IPA) di dalam kelasnya sambil dibimbing gurunya masih memikirkan dengan sadar tentang air hujan; sang guru mengatakan: "Kita sedang bahas Air Hujan, kebetulan anak-anakku, pagi ini hujan deras, coba lihat hujan...", anak-anak muridpun ramai melihat jendela kelas yang tembus pandang ke luar ruangan, dilihatnya air turun deras menghujam bumi. Gurunya menambahkan:" Itulah anak-anakku, tadi kita sudah belajar tentang sifat air, yang menempati ruang, dan juga mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang?...." murid sontak balas beramai-ramai, "rendah...!" tapi dipikir-pikir sekolah SD mana yang tidak meliburkan anak muridnya di momen tahun baru? Berarti, pupus harapan kita, mengira ada adik kita yang sedang sadar tentang air hujan mengalir dan menempati ruang! Ah. Apalagi ngarep bapak-bapak Dinas Penanggulangan Bencana Daerah yang sudah berkeluarga, mereka juga kan manusia, butuh liburan, jangan mikirin bencana melulu, kan bencananya juga belum datang. Kepala Daerah juga sama, paling-paling sedang liburan. Meskipun ada yang memang mengintruksikan warganya (sebelum hujan datang), supaya berlibur secara produktif dan manfaat. Harus kita apresiasi ya. Tapi bapak-bapak kepala daerah atau di bawahnya juga jangan lupa, warganya bukan hanya yang muslim saja. Apabila memberi arahan dan saran pada masyarakat, jangan hanya yang muslim. Lebih baik, nilai yang diangkat adalah yang universal. Mengenai praktik dari manfaat dan produktif itu serahkan saja kepada warganya masing-masing. Bapak bukan ketua DKM Masjid atau musholah kan? Maaf loh pak bukannya saya tidak membela Islam (muslim), saya hanya suka gak enak, melihat kebijakan atau saran yang hanya melibatkan satu agama. Kita bukannya banyak agama? Sampai 6 loh sekarang.
Lalu siapa sekarang yang memikirkan hujan turun di tahun baru kemarin? Ada prediksi-prediksi memang, tapi saya dengar dari guru-guru ngaji (kalau guru ngaji, adil rasanya bicara agar malam tahun baru diisi dengan pengajian) bila di tahun baru nanti ada kemungkinan akan ada sesuatu (katakanlah bencana), yang melanda Indonesia, maka para guru, Kiai, Ustadz, memberi arahan untuk tidak berlibur pada saat tahun baru berlangsung.
Guyuran hujan pada 31 Desamber - 1 Januari itu, benar-benar mengubah keadaan, suasana dan kondisi perayaan tahun baru. Melalui intensitas hujan yang tetap (sedang-tinggi), 2 hari langit gelap dan murung, tiada surya bersinar di bumi. Gemericik air mengguyur bumi, membasahi ketandusan tanah-tanah pesawahan yang beberapa bulan lamanya dilanda kering kerontang. Serba salah memang, hujan intens dapat menimbulkan petaka, begitupula kemarau intens dapat menimbulkan petaka. Air yang oleh Thales disebut sebagai materi (matter) dari alam semesta, yang menjadi sebab adanya kehidupan, justru sekarang menimbulkan kematian baik tumbuhan, hewan, atau manusia.
Kabupaten Bekasi, salah satunya, daerah penunjang kota besar Ibu Kota yang akan habis masanya menjadi ibu kota (Jakarta), tidak luput dari musibah kelebihan air hujan. Padahal sebelumnya di beberapa tempat, misalnya di Cibarusah, terjadi kesulitan air. Bekasi kembali kebanjiran di pembuka tahun 2020 Masehi. Sebentar, kita coba searching ke mesin google dengan keyword "Banjir di Kabupaten 2014", akan muncul banyak sekali berita yang mengkhabarkan kebanjiran yang lumayan parah, hampir 23 Kecamatan di kabupaten Bekasi mengalami banjir. Malah narasumber yang dimintai keterangan atas banjir 5 tahun silam, adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi. Dilansir dari media online, Liputan 6.com, pertanggal 21 Januari 2014, Sahat Nahor, menjadi informator dari berita Liputan 6.com yang menceritakan langsung fenomena kebanjiran. Banjir yang mengguyur hampir sepekan 5 tahun silam yang lalu membuat 52.961 kepala keluarga terkena dampak, atau sekitar 211.844 jiwa, dan 10.543 jiwa mengungsi. Penyebabnya dikarenakan beberapa kali yang meluap dan tanggul yang jebol, sehingga menyebabkan bekasi menjadi banjir. Sedangkan pada tahun 2020 ini, sebagaimana dilansir dari Kabarsebelas.com media online yang juga menyoroti soal kebanjiran 4 hari yang lalu memuat berita yang diperoleh dari data Pusdalops PB BPBD Kabupaten Bekasi yang merilis 11 kecamatan di Kabupaten Bekasi terkena banjir sebab meluapnya beberapa kali, dan air kiriman. Menurut kabarsebelas.com ada 3 kali, yakni kali sadang, kali cibeet, dan kali jambe. Keterangan yang sedikit berbeda dilansir dari Pikiran Rakyat.com, dikutip dari BPBD Kabupaten Bekasi mencatat 12 kecamatan terendam banjir dengan jumlah 30 titik. Hal tersebut terjadi dengan alasan yang sama, yakni meluapnya kali kali tersebut di atas. Banjir terparah/tertinggi yang menggenang terjadi di Tambun Selatan, dengan ketinggian air mencapai 2,5 meter. Sepanjang tahun-tahun banjir yang terjadi banjir di Bekasi, sepertinya dengan alasan-alasan yang sama. Kerugian sebagaimana yang tersebar informasi akibat banjir ini milyaran rupiah. Tentu jumlah yang dikeluarkan untuk para korban yang terdampak banjir, dengan jumlah segitu besarnya, tidaklah ada apa-apanya dibanding ribuan orang yang isi rumahnya rusak, bahkan ada pula korban nyawa dari kebanjiran yang terjadi. Pertanyaan besar dan mendalamnya terletak pada "Mengapa banjir masih terjadi setiap curah hujan dengan intensitas tinggi datang?" bukankah telah berkali-kali, dan apakah kita tidak bisa mengambil pelajaran dengan sudut pandang antisipatif. Apalagi, saya pikir korban banjir tidak terlalu membutuhkan perahu dan mie instan. Bagi mereka, keinginan agar tidak lagi banjir lebih solutif dan rasional ketimbang "ditolong" pada saat banjir datang. Apa mungkin harus ada BADAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR, dan bukan lagi PENANGGULANGAN BENCANA Banjir yang secara konotatif, mengurusi "yang sudah terjadi".Tetapi agaknya sudah ada Bidang Pencegahan itu di bawah BPBD Kabupaten Bekasi. Namun, lucu juga, kalau banjir diantisipasi dan mungkin tidak ada banjir lagi (yang parah seperti tahun ini dan 5 tahun ke belakang), BPBD dan BNPB mungkin tidak kerja lagi. Kalau tidak kerja lagi, mungkin bisa dihapus. Kalau dihapus banyak yang kehilangan pekerjaannya. Bingung juga ya!
Ada kisah yang menggelikan yang saya baca dari sebuah buku Filsafat Ilmu, pada bab awal dituliskan sedikit guyonan mengenai perlindungan satwa yang punah dalam hal ini satwa macan jawa. Dalam buku tersebut, dikisahkan mengenai informasi bahwa macan jawa akan mengalami kepunahan apabil tidak dilestarikan. Tetapi, buku itu juga sepertinya ingin mematahkan mengenai cara menanggulangi macan jawa agar tetap lestari (tidak punah). Kalau kita pikirkan antara manusia dan seekor macan, dari sisi kekuatan naturalnya, macan berkuku panjang, kuat, dan seekor pemangsa. Manusia? Apa bisa mengalahkan macan seandainya manusia tidak menggunakan alat apa-apa? Tentu jawabannya macan lebih kuat secara kodrati. Dengan logika yang demikian, maka mempertahankan populasi macan yang hampir punah, tidak tepat menggunakan cara "melindungi macan". Karena macan tidak butuh perlindungan. Dilihat dari rantai makanannya, macan merupakan konsumen tingkat pertama. Artinya, macan tersebut adalah satwa yang kuat, tidak butuh perlindungan untuk mempertahankan diri. Lalu, siapa yabf sebenarnya harus dilindungi? Tentu saja, manusianya! Manusialah yang harus dilindungi. Banyak benarnya juga, karena macan tidaklah punah bila keadaannya sebagaimana alamnya. Manusialah yang membuat macan punah. Dari kisah macan yang punah ini, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa yang mesti diberikan perlindungan dan pertolongan melalui pemahaman ialah manusia-manusia. Logika seperti inilah yang mulai pudar di zaman ini. Seperti soal-soal banjir yang kita hadapi tahun ini, melakukan pencegahan pada banjir hanya membenahi sesuatu yang bukan akar masalahnya. Sungai-sungai di kabupaten Bekasi, memang seringkali terdengar dinormalisasi, tetapi selama masih banyak yang membuang sampah di kali, maka sungai itu tak akan pernah bersih. Sungai CBL misalnya, yang saya sering lewati, penuh sekali sampah di pinggirnya.
Kabupaten Bekasi, daerah penyangga ibukota yang kompleks persoalannya. Fenomena kebanjiran yang terjadi hari ini merupakan "benang kusut" dari persoalan lain yang sangkut-pautnya menyebabkan bencana. Saat hujan deras yang intens, sudah tentu berita kebanjiran menghiasi berita; dan ketika kemarau, masih ada daerah yang mengalami kekeringan. Hal itu terus terjadi seolah "biasa". Apakah hal ini merupakan " takdir" yang tidak dapat dirubah, seperti logika "setiap makhluk pasti mati!" atau, (mohon maaf) disengaja oleh sebagian orang. Jika dilihat kebanjiran yang tak berkesudahan ini dari satu sisi merupakan akibat "kultur" masyarakat kota yang eksploitatif. Eksploitasi ini terjadi karena pada masyarakat Bekasi, mulai masuk ke dalam fase modern yang terindustrialisasi. Masyarakat yang individual-rasional hidup sendiri-sendiri dengan fungsi yang berbeda-beda. Ikatan yang dibangun biasanya merupakan tujuan-tujuan ekonomis. Masyarakat Bekasi yang rasional - individualistis atau dalam bahasa Durkheim disebut masyarakat organis ini, tidak bergantung kepada alam lagi seperti dalam masyarakat Bekasi yang hidup di sebelah utara. Karakter rasional merupakan karakter obyektif yang "menjaga jarak" dengan alam semesta, dan berkeinginan mengendalikannya (menguasai). Ilmu-ilmu yang dipelajari merupakan ilmu untuk menguasai alam (dalam bahasa Baconian/Francis Bacon disebut istilah Knowledge Is Power yang berarti pengetahuan adalah kekuasaan), dan mengeksploitasinya. Meskipun tidak setiap manusia yang rasional mengeksploitasi alam. Akibat pola hidup eksploitatif inilah kebanjiran melanda Bekasi. Sialnya masyarakat utara merupakan masyarakat yang berada di dataran rendah, yang sebenarnya pola hidup mereka cenderung bergantung pada alam. Tetapi karena ada di posisi dataran yang mendekati laut, maka mereka terkena imbas kebanjiran.
Dari sudut pandang kebijakan misalnya, peraturan daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang, yang pada tahun-tahun lalu ditolak pemprov Jabar. Perda ini sangat memiliki ekses kepada kebanjiran yang terjadi. Ketika lahan hijau dengan fungsi konservasi, tidak ditegaskan dan lahan pemukiman-industri tidak dibatasi, maka banjir akan terus datang. Kita bisa melihat sebentar ke dalam Perda No 12 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Bekasi 2011-2031 (yang turunannya ada Rencana Detail Tata Ruang, dan dikabarkan ditolak pemprov) melihat dalam Wilayah Pengembangan (WP 1 sampai 4), yang dalam keempat wilayah tersebut, hanya WP IV yang sedikit ada diberi ruang untuk hutan konservasi, sisanya lahan pertanian yang bercampur dengan perumahan. Kelamaan lahan pertanian bisa jadi akan dikalahkan oleh permukiman. Perda RTRW tersebut berubah berdasarkan kepentingan pembangunan baik provinsi atau nasional.
Kebanjiran sebagai akibat dari "kultur" masyarakat yang eksploitatif ini tentu harus diimbangi dengan edukasi ekologi. Sayangnya, di sekolah kita tidak mengajarkan bagaimana alam semesta merupakan satu-kesatuan dengan manusia. Pendidikan Lingkungan Hidup yang dipelajari di SMK, terlihat asal-asalan. Guru PLH, bukan orang yang fokus dalam kajian Ekologis dan hanya memberikan murid-murid dengan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) seperti yang saya rasakan ketika duduk di bangku SMK. Pelajaran PLH sangat tidak mengandung nilai sama sekali.
Sudah saatnya, badan-badan pemerintah yang menanggulangi bencana seperti banjir, masuk ke sekolah-sekolah untuk mengedukasi anak-anak tentang bagaimana kita menghargai lingkungan yang satu-padu hidup bersama kita. Meminjam kata-kata seorang yang menyindir pola hidup masyarakat yang eskploitatif, katanya: "apabila sudah tidak ada lagi lahan untuk ditanami padi, kita baru sadar bahwa kertas uang tidak bisa dimakan!".
Kita sebagai masyarakat juga harus mulai memikirkan apa dampak yang akan dirasakan oleh keturunan kita ke depan apabila perilaku eksploitatif ini terus dipertahankan. Ada sedikit pemahaman yang dapat kita ambil dari pemikiran Bio-Regionalisme. Pemikiran yang menyegarkan kembali kegersangan akibat eskploitasi alam.
Bioregionalisme sebagai sebuah aliran atau sistem pemikiran, adalah sebuah aliran dan sistem berfikir yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah kelahiran”. Dengan begitu, kita diajak kembali untuk mengenali dan mendalami, bumi, alam, ekosistem, tempat kelahiran, tanah air, dengan segala kondisi dan kekhasannya, fauna dan floranya, iklim dan tata airnya, dan seluruh sistimnya. Sebagaimana dikutip dari Sonny Keraf, dalam Filsafat Lingkungan Hidup Bersama Fritjop Capra.
Pemikiran ini, (Bioregionalisme) mengajak kita untuk memahami tempat, rumah, alam, yang begitu dekat dengan hidup kita, langsung kita rasakan sebagai bagian dari alam di mana kita lahir, tumbuh, berkembang, dan dibesarkan sebagai bagian dari tempat yang unik, yang khas, yag kita sebut sebagai tanah kelahiran, tanah kampung kita.
Istilah Bioregionalisme ini pertama kali digunakan oleh Van Newkirk, sekitar tahun 1970an. Newkirk memahami bioregionalisme ini sebagai sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografis. Kemudian istilah ini diperjelas oleh Peter Berg dan Raymond Dasmann, pada tahun 1977 melalui artikel yang berjudul “Reinhabiting California”.
Keempat, menurut Peter dan Dasmann, prinsip Bioregionalisme ini adalah “living in place” (hidup di tempat), “Reinhabitation” (mendiami kembali). Hidup di tempat yang dimaksudkan adalah, hidup mengikuti keniscayaan, dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik di mana setiap orang berada, dan mengembangkan cara-cara untuk memastikan bagaimana setiap orang hidup selamanya, di tempat itu; dan selalu akan menjaga keseimbangan daya dukung tempat itu melalui hubungan mendalam antara kehidupan manusia beserta seluruh aktivitasnya dengan seluruh kehidupan lain di sekitarnya, bahkan, proses cuaca, musim, siklus air, yang telah tersingkap di tempat itu. Dan prinsip mendiami kembali, dimaksudkan, belajar kembali hidup di tempat, wilayah, yang telah dirusak dan dihancurkan oleh karena eksploitasi di masa-lalu. Dan inti dari Filsafat Bioreginoalisme adalah “menjaga tempat”.
Bagaimana menurut kalian banjir beberapa minggu yang lalu? Dan ini menurut saya. Yang harus kita pelajari setiap banjir datang adalah mengganti solusi mie instan kepada penyelesaian. Penyelesaian ini adalah gerakan serentak yang harus diakukan semua kalangan. Namun, pemerintah bisa mengawali dengan mempelopori kebijakan yang ramah lingkungan dan gerakan-gerakan konservasi, baik di dalam pendidikan, ataupun dalam kebijakan pembangunan.
Agaknya, Manusia tidak hanya didisain seperti mesin (yang mekanis), yang secara otomatis bekerja sesuai programnya; manusia merupakan makhluk yang dinamis, dan cenderung belajar dari problem hidup yang dihadapinya. Ketika hujan turun, manusia tidak langsung terbayang pertanyaan, "Apakah air hujan tidak akan meluap dari aliran-aliran sungai?" atau, "apakah sungai, tanggul, bendungan, gorong-gorong, comberan dan sejenisnya, mampu menampung air hujan?" tidak! Bukan itu yang diingat. Ya karena manusia tidak akan mau mengingat-ngingat yang "melelahkan" dan membuatnya repot. Anak mudanya sekalipun, yang dinobatkan sebagai penerus bangsa, paling banter hanya memikirkan kisah cinta masa lalunya, yang paling praktis mereka tahu bahwa paling enak ketika hujan datang adalah "tarik selimut".
Menarik kiranya Thorndike 1871 (psikolog Amerika aliran behaviorisme) dalam hukum psikologinya memberikan keterangan tentang hukum pengaruh (law of effect) yang menjelaskan koneksi antara stimulus dan respons sebagai konsekuensi dari respons. Dengan bunyi hukum: " jika suatu respons diikuti oleh keadaan yang memuaskan (satisfying state of affairs) kekuatan koneksi akan bertambah; dan jika respons diikuti dengan keadaan tidak memuaskan atau menjengkelkan (annoying state of affairs) maka kekuatan koneksi akan menurun atau melemah." Hukum pengaruh yang dijelaskan oleh psikolog di atas simpelnya menyatakan bahwa manusia akan cenderung menginginkan sesuatu yang enak. Tentu lawan katanya, tidak menginginkan sesuatu yang tidak enak. Dengan begitu manusia akan memendam dalam ketidaksadarannya sesuatu yang tidak enak pada pengalamannya, dan sesuatu yang enak terus dimunculkannya dalam wilayah kesadarannya. Tentu saja, kita membenarkan (tetapi boleh saja meragukan), apa yang dikatakan di atas. Kan, pengalaman yang "nggak" enak, sakit, sebagai orang normal, tentu inginnya melupakan toh? Pengalaman yang indah dan menyenangkan terus diingat bahkan cenderung diulang! Itulah mengapa orang-orang pada saat hujan terjadi, lebih memikirkan, mengingat, dan melakukan apa yang enak, simpel, indah menurutnya.
Hanya adik-adik kita yang masih Sekolah Dasar, (itupun yang sedang belajar IPA) di dalam kelasnya sambil dibimbing gurunya masih memikirkan dengan sadar tentang air hujan; sang guru mengatakan: "Kita sedang bahas Air Hujan, kebetulan anak-anakku, pagi ini hujan deras, coba lihat hujan...", anak-anak muridpun ramai melihat jendela kelas yang tembus pandang ke luar ruangan, dilihatnya air turun deras menghujam bumi. Gurunya menambahkan:" Itulah anak-anakku, tadi kita sudah belajar tentang sifat air, yang menempati ruang, dan juga mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang?...." murid sontak balas beramai-ramai, "rendah...!" tapi dipikir-pikir sekolah SD mana yang tidak meliburkan anak muridnya di momen tahun baru? Berarti, pupus harapan kita, mengira ada adik kita yang sedang sadar tentang air hujan mengalir dan menempati ruang! Ah. Apalagi ngarep bapak-bapak Dinas Penanggulangan Bencana Daerah yang sudah berkeluarga, mereka juga kan manusia, butuh liburan, jangan mikirin bencana melulu, kan bencananya juga belum datang. Kepala Daerah juga sama, paling-paling sedang liburan. Meskipun ada yang memang mengintruksikan warganya (sebelum hujan datang), supaya berlibur secara produktif dan manfaat. Harus kita apresiasi ya. Tapi bapak-bapak kepala daerah atau di bawahnya juga jangan lupa, warganya bukan hanya yang muslim saja. Apabila memberi arahan dan saran pada masyarakat, jangan hanya yang muslim. Lebih baik, nilai yang diangkat adalah yang universal. Mengenai praktik dari manfaat dan produktif itu serahkan saja kepada warganya masing-masing. Bapak bukan ketua DKM Masjid atau musholah kan? Maaf loh pak bukannya saya tidak membela Islam (muslim), saya hanya suka gak enak, melihat kebijakan atau saran yang hanya melibatkan satu agama. Kita bukannya banyak agama? Sampai 6 loh sekarang.
Lalu siapa sekarang yang memikirkan hujan turun di tahun baru kemarin? Ada prediksi-prediksi memang, tapi saya dengar dari guru-guru ngaji (kalau guru ngaji, adil rasanya bicara agar malam tahun baru diisi dengan pengajian) bila di tahun baru nanti ada kemungkinan akan ada sesuatu (katakanlah bencana), yang melanda Indonesia, maka para guru, Kiai, Ustadz, memberi arahan untuk tidak berlibur pada saat tahun baru berlangsung.
Guyuran hujan pada 31 Desamber - 1 Januari itu, benar-benar mengubah keadaan, suasana dan kondisi perayaan tahun baru. Melalui intensitas hujan yang tetap (sedang-tinggi), 2 hari langit gelap dan murung, tiada surya bersinar di bumi. Gemericik air mengguyur bumi, membasahi ketandusan tanah-tanah pesawahan yang beberapa bulan lamanya dilanda kering kerontang. Serba salah memang, hujan intens dapat menimbulkan petaka, begitupula kemarau intens dapat menimbulkan petaka. Air yang oleh Thales disebut sebagai materi (matter) dari alam semesta, yang menjadi sebab adanya kehidupan, justru sekarang menimbulkan kematian baik tumbuhan, hewan, atau manusia.
Kabupaten Bekasi, salah satunya, daerah penunjang kota besar Ibu Kota yang akan habis masanya menjadi ibu kota (Jakarta), tidak luput dari musibah kelebihan air hujan. Padahal sebelumnya di beberapa tempat, misalnya di Cibarusah, terjadi kesulitan air. Bekasi kembali kebanjiran di pembuka tahun 2020 Masehi. Sebentar, kita coba searching ke mesin google dengan keyword "Banjir di Kabupaten 2014", akan muncul banyak sekali berita yang mengkhabarkan kebanjiran yang lumayan parah, hampir 23 Kecamatan di kabupaten Bekasi mengalami banjir. Malah narasumber yang dimintai keterangan atas banjir 5 tahun silam, adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi. Dilansir dari media online, Liputan 6.com, pertanggal 21 Januari 2014, Sahat Nahor, menjadi informator dari berita Liputan 6.com yang menceritakan langsung fenomena kebanjiran. Banjir yang mengguyur hampir sepekan 5 tahun silam yang lalu membuat 52.961 kepala keluarga terkena dampak, atau sekitar 211.844 jiwa, dan 10.543 jiwa mengungsi. Penyebabnya dikarenakan beberapa kali yang meluap dan tanggul yang jebol, sehingga menyebabkan bekasi menjadi banjir. Sedangkan pada tahun 2020 ini, sebagaimana dilansir dari Kabarsebelas.com media online yang juga menyoroti soal kebanjiran 4 hari yang lalu memuat berita yang diperoleh dari data Pusdalops PB BPBD Kabupaten Bekasi yang merilis 11 kecamatan di Kabupaten Bekasi terkena banjir sebab meluapnya beberapa kali, dan air kiriman. Menurut kabarsebelas.com ada 3 kali, yakni kali sadang, kali cibeet, dan kali jambe. Keterangan yang sedikit berbeda dilansir dari Pikiran Rakyat.com, dikutip dari BPBD Kabupaten Bekasi mencatat 12 kecamatan terendam banjir dengan jumlah 30 titik. Hal tersebut terjadi dengan alasan yang sama, yakni meluapnya kali kali tersebut di atas. Banjir terparah/tertinggi yang menggenang terjadi di Tambun Selatan, dengan ketinggian air mencapai 2,5 meter. Sepanjang tahun-tahun banjir yang terjadi banjir di Bekasi, sepertinya dengan alasan-alasan yang sama. Kerugian sebagaimana yang tersebar informasi akibat banjir ini milyaran rupiah. Tentu jumlah yang dikeluarkan untuk para korban yang terdampak banjir, dengan jumlah segitu besarnya, tidaklah ada apa-apanya dibanding ribuan orang yang isi rumahnya rusak, bahkan ada pula korban nyawa dari kebanjiran yang terjadi. Pertanyaan besar dan mendalamnya terletak pada "Mengapa banjir masih terjadi setiap curah hujan dengan intensitas tinggi datang?" bukankah telah berkali-kali, dan apakah kita tidak bisa mengambil pelajaran dengan sudut pandang antisipatif. Apalagi, saya pikir korban banjir tidak terlalu membutuhkan perahu dan mie instan. Bagi mereka, keinginan agar tidak lagi banjir lebih solutif dan rasional ketimbang "ditolong" pada saat banjir datang. Apa mungkin harus ada BADAN ANTISIPASI BENCANA BANJIR, dan bukan lagi PENANGGULANGAN BENCANA Banjir yang secara konotatif, mengurusi "yang sudah terjadi".Tetapi agaknya sudah ada Bidang Pencegahan itu di bawah BPBD Kabupaten Bekasi. Namun, lucu juga, kalau banjir diantisipasi dan mungkin tidak ada banjir lagi (yang parah seperti tahun ini dan 5 tahun ke belakang), BPBD dan BNPB mungkin tidak kerja lagi. Kalau tidak kerja lagi, mungkin bisa dihapus. Kalau dihapus banyak yang kehilangan pekerjaannya. Bingung juga ya!
Ada kisah yang menggelikan yang saya baca dari sebuah buku Filsafat Ilmu, pada bab awal dituliskan sedikit guyonan mengenai perlindungan satwa yang punah dalam hal ini satwa macan jawa. Dalam buku tersebut, dikisahkan mengenai informasi bahwa macan jawa akan mengalami kepunahan apabil tidak dilestarikan. Tetapi, buku itu juga sepertinya ingin mematahkan mengenai cara menanggulangi macan jawa agar tetap lestari (tidak punah). Kalau kita pikirkan antara manusia dan seekor macan, dari sisi kekuatan naturalnya, macan berkuku panjang, kuat, dan seekor pemangsa. Manusia? Apa bisa mengalahkan macan seandainya manusia tidak menggunakan alat apa-apa? Tentu jawabannya macan lebih kuat secara kodrati. Dengan logika yang demikian, maka mempertahankan populasi macan yang hampir punah, tidak tepat menggunakan cara "melindungi macan". Karena macan tidak butuh perlindungan. Dilihat dari rantai makanannya, macan merupakan konsumen tingkat pertama. Artinya, macan tersebut adalah satwa yang kuat, tidak butuh perlindungan untuk mempertahankan diri. Lalu, siapa yabf sebenarnya harus dilindungi? Tentu saja, manusianya! Manusialah yang harus dilindungi. Banyak benarnya juga, karena macan tidaklah punah bila keadaannya sebagaimana alamnya. Manusialah yang membuat macan punah. Dari kisah macan yang punah ini, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa yang mesti diberikan perlindungan dan pertolongan melalui pemahaman ialah manusia-manusia. Logika seperti inilah yang mulai pudar di zaman ini. Seperti soal-soal banjir yang kita hadapi tahun ini, melakukan pencegahan pada banjir hanya membenahi sesuatu yang bukan akar masalahnya. Sungai-sungai di kabupaten Bekasi, memang seringkali terdengar dinormalisasi, tetapi selama masih banyak yang membuang sampah di kali, maka sungai itu tak akan pernah bersih. Sungai CBL misalnya, yang saya sering lewati, penuh sekali sampah di pinggirnya.
Kabupaten Bekasi, daerah penyangga ibukota yang kompleks persoalannya. Fenomena kebanjiran yang terjadi hari ini merupakan "benang kusut" dari persoalan lain yang sangkut-pautnya menyebabkan bencana. Saat hujan deras yang intens, sudah tentu berita kebanjiran menghiasi berita; dan ketika kemarau, masih ada daerah yang mengalami kekeringan. Hal itu terus terjadi seolah "biasa". Apakah hal ini merupakan " takdir" yang tidak dapat dirubah, seperti logika "setiap makhluk pasti mati!" atau, (mohon maaf) disengaja oleh sebagian orang. Jika dilihat kebanjiran yang tak berkesudahan ini dari satu sisi merupakan akibat "kultur" masyarakat kota yang eksploitatif. Eksploitasi ini terjadi karena pada masyarakat Bekasi, mulai masuk ke dalam fase modern yang terindustrialisasi. Masyarakat yang individual-rasional hidup sendiri-sendiri dengan fungsi yang berbeda-beda. Ikatan yang dibangun biasanya merupakan tujuan-tujuan ekonomis. Masyarakat Bekasi yang rasional - individualistis atau dalam bahasa Durkheim disebut masyarakat organis ini, tidak bergantung kepada alam lagi seperti dalam masyarakat Bekasi yang hidup di sebelah utara. Karakter rasional merupakan karakter obyektif yang "menjaga jarak" dengan alam semesta, dan berkeinginan mengendalikannya (menguasai). Ilmu-ilmu yang dipelajari merupakan ilmu untuk menguasai alam (dalam bahasa Baconian/Francis Bacon disebut istilah Knowledge Is Power yang berarti pengetahuan adalah kekuasaan), dan mengeksploitasinya. Meskipun tidak setiap manusia yang rasional mengeksploitasi alam. Akibat pola hidup eksploitatif inilah kebanjiran melanda Bekasi. Sialnya masyarakat utara merupakan masyarakat yang berada di dataran rendah, yang sebenarnya pola hidup mereka cenderung bergantung pada alam. Tetapi karena ada di posisi dataran yang mendekati laut, maka mereka terkena imbas kebanjiran.
Dari sudut pandang kebijakan misalnya, peraturan daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang, yang pada tahun-tahun lalu ditolak pemprov Jabar. Perda ini sangat memiliki ekses kepada kebanjiran yang terjadi. Ketika lahan hijau dengan fungsi konservasi, tidak ditegaskan dan lahan pemukiman-industri tidak dibatasi, maka banjir akan terus datang. Kita bisa melihat sebentar ke dalam Perda No 12 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Bekasi 2011-2031 (yang turunannya ada Rencana Detail Tata Ruang, dan dikabarkan ditolak pemprov) melihat dalam Wilayah Pengembangan (WP 1 sampai 4), yang dalam keempat wilayah tersebut, hanya WP IV yang sedikit ada diberi ruang untuk hutan konservasi, sisanya lahan pertanian yang bercampur dengan perumahan. Kelamaan lahan pertanian bisa jadi akan dikalahkan oleh permukiman. Perda RTRW tersebut berubah berdasarkan kepentingan pembangunan baik provinsi atau nasional.
Kebanjiran sebagai akibat dari "kultur" masyarakat yang eksploitatif ini tentu harus diimbangi dengan edukasi ekologi. Sayangnya, di sekolah kita tidak mengajarkan bagaimana alam semesta merupakan satu-kesatuan dengan manusia. Pendidikan Lingkungan Hidup yang dipelajari di SMK, terlihat asal-asalan. Guru PLH, bukan orang yang fokus dalam kajian Ekologis dan hanya memberikan murid-murid dengan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) seperti yang saya rasakan ketika duduk di bangku SMK. Pelajaran PLH sangat tidak mengandung nilai sama sekali.
Sudah saatnya, badan-badan pemerintah yang menanggulangi bencana seperti banjir, masuk ke sekolah-sekolah untuk mengedukasi anak-anak tentang bagaimana kita menghargai lingkungan yang satu-padu hidup bersama kita. Meminjam kata-kata seorang yang menyindir pola hidup masyarakat yang eskploitatif, katanya: "apabila sudah tidak ada lagi lahan untuk ditanami padi, kita baru sadar bahwa kertas uang tidak bisa dimakan!".
Kita sebagai masyarakat juga harus mulai memikirkan apa dampak yang akan dirasakan oleh keturunan kita ke depan apabila perilaku eksploitatif ini terus dipertahankan. Ada sedikit pemahaman yang dapat kita ambil dari pemikiran Bio-Regionalisme. Pemikiran yang menyegarkan kembali kegersangan akibat eskploitasi alam.
Bioregionalisme sebagai sebuah aliran atau sistem pemikiran, adalah sebuah aliran dan sistem berfikir yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah kelahiran”. Dengan begitu, kita diajak kembali untuk mengenali dan mendalami, bumi, alam, ekosistem, tempat kelahiran, tanah air, dengan segala kondisi dan kekhasannya, fauna dan floranya, iklim dan tata airnya, dan seluruh sistimnya. Sebagaimana dikutip dari Sonny Keraf, dalam Filsafat Lingkungan Hidup Bersama Fritjop Capra.
Pemikiran ini, (Bioregionalisme) mengajak kita untuk memahami tempat, rumah, alam, yang begitu dekat dengan hidup kita, langsung kita rasakan sebagai bagian dari alam di mana kita lahir, tumbuh, berkembang, dan dibesarkan sebagai bagian dari tempat yang unik, yang khas, yag kita sebut sebagai tanah kelahiran, tanah kampung kita.
Istilah Bioregionalisme ini pertama kali digunakan oleh Van Newkirk, sekitar tahun 1970an. Newkirk memahami bioregionalisme ini sebagai sebuah proses teknis mengidentifikasi wilayah budaya yang ditafsirkan secara biogeografis. Kemudian istilah ini diperjelas oleh Peter Berg dan Raymond Dasmann, pada tahun 1977 melalui artikel yang berjudul “Reinhabiting California”.
Keempat, menurut Peter dan Dasmann, prinsip Bioregionalisme ini adalah “living in place” (hidup di tempat), “Reinhabitation” (mendiami kembali). Hidup di tempat yang dimaksudkan adalah, hidup mengikuti keniscayaan, dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik di mana setiap orang berada, dan mengembangkan cara-cara untuk memastikan bagaimana setiap orang hidup selamanya, di tempat itu; dan selalu akan menjaga keseimbangan daya dukung tempat itu melalui hubungan mendalam antara kehidupan manusia beserta seluruh aktivitasnya dengan seluruh kehidupan lain di sekitarnya, bahkan, proses cuaca, musim, siklus air, yang telah tersingkap di tempat itu. Dan prinsip mendiami kembali, dimaksudkan, belajar kembali hidup di tempat, wilayah, yang telah dirusak dan dihancurkan oleh karena eksploitasi di masa-lalu. Dan inti dari Filsafat Bioreginoalisme adalah “menjaga tempat”.
Bagaimana menurut kalian banjir beberapa minggu yang lalu? Dan ini menurut saya. Yang harus kita pelajari setiap banjir datang adalah mengganti solusi mie instan kepada penyelesaian. Penyelesaian ini adalah gerakan serentak yang harus diakukan semua kalangan. Namun, pemerintah bisa mengawali dengan mempelopori kebijakan yang ramah lingkungan dan gerakan-gerakan konservasi, baik di dalam pendidikan, ataupun dalam kebijakan pembangunan.
Wallahu A'lam
*Fajar Chaidir Qurrota A'yun*
Bekasi, 9 Januari 2020
Pengamat Abal-abal
0 Comments