Ketika saya menulis tentang perempuan, saya mungkin sedang memikirkan diri saya sendiri sebagai laki-laki (atau dalam sebutan yang lebih tinggi: sebagai Pria) yang pernah hidup sebadan dengan perempuan sebelum lahir ke dunia. Menjadi satu dengan Ibu saya selama 7 bulan, ada kesan-kesan yang tersimpan yang suatu saat (dan tulisan ini menunjukkan ingatan itu) muncul ke permukaan, bisa juga dikatakan sebagai "ingatan yang terpendam di dasar ketidaksadaran".

        Kita laki-laki tidak mengingat apa-apa pada saat di dalam rahim Ibu kita; namun saya yakin dari tulisan ini, bahwa dalam proses pembentukan seluruh organisme tubuh, saya telah dapat belajar dan mengingat, tetapi terpendam selama belasan dan puluhan tahun lamanya. Ingatan itu kemudian memanifestasikan dirinya secara faktual, ketika melihat adik-adik saya yang lahir melalui rahim Ibu saya juga. Akhirnya, saya memahami bahwa laki-laki merupakan wujud kedua dari perempuan. Hanya satu laki-laki yang bebas dari rahim, yaitu Adam. Tetapi Adam tidak akan jadi Adam kalau tidak ada Hawa. Sebab bagaimana mungkin kisah Adam diingat asal-muasalnya, kalau Adam tidak melakukan perpanjangan eksistensi di dunia melalui pasangannya Hawa.

      Kebenaran bahwa perempuan merupakan makhluk yang kehadirannya terus memperpanjang kehidupan umat manusia secara fakta memang benar adanya. Dalam sebuah penelitian yang saya baca dari media mainstream, para ilmuwan yang meneliti mengenai bagaimana bayi yang lahir kemudian memperoleh kecerdasannya dari seorang perempuan (Ibu). Berarti, selain dengan membentuk organ tubuh seorang bayi, perempuan juga mewarisi kecerdasan kepada si Bayi, lebih khusus laki-laki. Kalau disimpulkan secara general, berarti, laki-laki yang lahir merupakan "cetakan" dari seorang perempuan. Fakta yang berkaitan dengan perempuan ini menguatkan diri saya, bahwa perempuan merupakan makhluk yang menduniakan dunia. Menduniakan dunia yang saya maksud ialah menjadi sebab materil dan proses dari berdirinya sebuah peradaban umat manusia selama puluhan ribu tahun lamanya.

      Keingatan ini, sayangnya, tidak bertahan lama. Perempuan kemudian menjadi sebuah manusia yang seolah-olah disingkirkan dari komunitas laki-laki. Begitu kata para pejuang hak-hak perempuan. Dunia seolah-olah membalikkan keadaan bahwa semua laki-laki lahir dari perempuan. Beralih pandangan menjadi laki-lakilah yang berhak memegang dunia dibalik keperkasaannya! Laki-laki menjadi Raja, Presiden. Meskipun, ada beberapa Negara yang merajakan perempuan. Tetapi dari luasnya dunia, sedikit sekali perempuan yang memegang kekuasaan. Fakta-fakta ini membuat saya berempati terhadap nasib Ibu saya (perempuan-perempuan). Sifat fakta-fakta ini (yang empirik, dapat dicerap) sebenarnya tidaklah "benar dari sananya" (taken for granted) atau diterima begitu saja. Akhirnya muncullah sebuah pemikiran-pemikiran kaum perempuan yang sebelah mata saya mengatakan "itu benar!" tetapi sebelah mata saya mengatakan "tidak juga begitu!".

Dari sudut pandang para pembela perempuan yang terus-terusan memakai sebuah teori " bahwa perempuan atau disebut patriarki sebagai sebuah sistem sosial yang dikontruksikan merupakan sebab dinomorduakannya perempuan".
                
        Dalam pemahaman Gender, dilihat dari asal kata Gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti "suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berperilaku". Sementara pendapat Jackley (1972) dalam Sex, Gender and Society memberi makna gender sebagai jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Kodrat Tuhan yang telah ada pada laki-laki dan perempuan ini tidak bisa berubah. Sementara Gender adalah sebuah perbedaan (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dibangun dari kontruksi sosial (Socially Constructed) dan diciptakan oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender ini kemudian melahirkan peran Gender (gender role). Keduanya (Peran dan Perbedaan Gender) menjadi asumsi dasar dari: pertama, terjadinya marginalisasi secara ekonomi terhadap kaum perempuan. Kedua, terjadi Subordinasi pada salah satu jenis seks, umumnya terjadi di kalangan perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara sebagai pembuat kebijakan. Ketiga, munculnya pelabelan (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu (perempuan) dan akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan lainnya. Keempat, kekerasan (violence) terhadap perempuan dari kekerasan fisik sampai kepada kekerasan penciptaan ketergantungan. Kelima, peran gender mengakibatkan perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden), dan apabila tidak melaksanakannya merupakan sebuah kesalahan; hal ini tertanam di masyarakat sangat kuat. (Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi 2002).

        Pendapat demikian bagi saya tidak benar seluruhnya. Dan tidak bisa dipakai "melampaui horizon". Artinya tak bisa juga menganggap bahwa perempuan selalu berada dalam posisi subordinasi di bawah kendali laki-laki yang kemudian dipakai teori itu " kapanpun" dan "dimanapun". Hal demikian membuat sebuah kesalahan besar karena sesuatu yang faktual tentu bisa berubah. Menganggap perempuan terus tersubordinasi sama dengan menganggap bahwa laki-lakilah yang kuat dan berkuasa. Karena dengan teori itu, perempuan mengakui kelemahan dan ketersubordinasiannya dari laki-laki.
 
Apabila kita mau melihat hukum-hukum sosial yang terjadi, dalam kehidupan sehari-hari, kiranya dapat kita lihat sebuah karya yang membeda asal-muasal hukum sosial itu terbentuk.

        Karl Raimund Popper dalam Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya (Open Society and Its Enemies) dalam Bab "Konvensi dan Takdir" menjelaskan secara baik mengenai terbentuknya hukum sosial. Melihat bahwa perbedaan Gender dan peran Gender sebenarnya adalah keruwetan karena sukar membedakan mana sebuah takdir dan mana sebuah konvensi. Selain itu, mana hukum-hukum yang tetap dan mana yang mandeg.
 
        Pandangan pertama mengenai norma dan hukum alam (konvensi dan takdir) disebut sebagai Naturalisme biologis. Menyatakan bahwa  hukum-hukum moral dan hukum keadaan bersifar arbitrer, tetapi tetap melihat adanya hukum yang tidak berubah dan abadi. Misalnya, seorang manusia yang memakan sesuatu dan ukuran makannya adalah hukum konvensi (arbitrer) tetapi manusia semuanya, memang akan mati jika tidak makan (takdir; alam).

        Pandangan Kedua, Positivisme Etis, yang berpandangan bahwa hukum yang bersifar natural (ada sekarang) berupa norma-norma harus direduksikan ke dalam fakta-fakta (sekarang). Pandangan ini berpendapat yang ada sekarang merupakan kebaikan; juga mempercayai semua hukum bersifat konvensional. Karena mereka melihat fenomena hukum atau norma dari sebuah masyarakat, bukan sebagai individu. Sehingga cenderung tidak melihat sisi individu manusia.

        Pandangan selanjutnya, Naturalisme Psikologis yang mengkritik pandangan kedua dengan memberikan pernyataan bahwa benar jika semua hukum itu konvensional karena merupakan produk manusia dan masyarakat namun mengabaikan fakta bahwa produk itu muncul dari ekspresi psikologis dan spiritual manusia dan masyarakat. Sekaligus mengkritisi pendapat naturalis biologis yang berpandangan bahwa benar adanya sesuatu kebutuhan yang mendasar, tetapi manusia tidak selalu dalam kebutuhan dasar itu, misalnya kesehatan, pangan, papan, dan reproduksi. Banyak juga manusia yang "melampaui" lebih dari itu; dalam arti tidak hanya butuh sehat, makan, minum, yang mencaru tujuan-tujuan spiritual. Tetapi pandangan terakhir ini bisa membela kedua pandangan sebelumnya.

     Popper mengkritisi pendapar-pendapat ini. Ke dalam dua kecenderungan. Pertama kecenderungan menuju pada reduksi norma kepada fakta, dan kecenderungan kedua memberikan jalan untuk kita "takut" mengakui bahwa pertanggungjawaban keputusan etis itu merupakan bentukan kita sendiri, tak dapat diletakkan kepada orang lain, tidak pula pada Tuhan, alam, masyarakat atau sejarah.
     Dalam konteks gender, yang memiliki keterkaitan dengan hukum etis yang bersifat Konvensi atau Takdir, saya menganggap bahwa memang Gender dengan analisis disebut di atas (peran, perbedaan, stereotype, kekerasan, diskriminasi) tidak dapat digeneralisasikan ke "semua tempat" dan "semua waktu". Sebab saya meyakini bahwa apa yang dipaparkan dari analisis gender merupakan analisis yang katakanlah bersifat partikular. Sebab masyarakat yang tradisional sendiri bagi saya hidup dalam setara. Baik itu laki-laki dan perempuan punya peran sama, dan tidak ada yang dibedakan kecuali takdir itu sendiri. Hal ini seperti pengamatan kecil saya ke wilayah (dalam konteks ekonomi) ke masyarakat desa yang agraris dan juga yang perairan (laut). Perempuan dalam masyarakat Petani dan Nelayan, masih mengerjakan dan menjadi bagian dari mata pencaharian. Contoh, apabila musim tanam padi tiba dan panen tiba, banyak sekali petani perempuan yang ikut turun ke sawah (saya mengamati wilayah Sukawangi dan Cabang Bungin) Sementara istri Nelayan merupakan pelaku ekonomi aktif juga setelah suaminya pulang melaut, para istri kemudian memegang kendali atas penjualan ikan hasil tangkapan suaminya. Bahkan ada yang ikut melaut. Dari sisi keluarga, dan ketergantungan, agaknya kakek dan nenek, ayah-ibu saya merupakan pelaku aktif pencaharian ekonomi. Saya masih sangat ingat kedua nenek saya yang seorang pedagang itu bekerja juga. Artinya tidak bergantung.

        Fenomena kekerasan juga saya fikir merupakan kasus-kasus yang hanya menjadi bagian kecil. Meskipun ada, yang berbuat sesuai dengan analisis gender tersebut di atas, mereka orang yang secara individual tidak memahami itu.

        Dalam konteks Indonesia, yang beragama, dan berbudaya, tentu berbeda dengan pandangan barat. Sementara teori gender yang saya sebut di atas merupakan teori yang asal muasalnya dari barat, yang fenomenanya berbeda dengan Indonesia. Indonesia sebagai sebuah peradaban, katakanlah di Bekasi, merupakan warisan kerajaan Tarumanagara, yang patriarkhis, karena rajanya selalu laki-laki. Indonesia tentu sangat sulit melakukan itu (perubahan seradikal pemahaman gender). Hak yang bersifat administratif misalnya Kartu Keluarga; yang disebut sebagai kepala keluarga itu laki-laki. Silsilah juga merupakan sebutan dari anak laki-laki ke ayah (berasal dari tradisi agama). Tatanan masyarakat yang adil dan tidak bias Gender sebenarnya tidak juga harus menyalahkan posisi antara laki-laki dan perempuannya. Meskipun hari ini sudah dimulai kebijakan yang memberikan ruang bagi perempuan. Tetapi bukan dalam konteks "mengubah secara radikal". Patriarki yang katanya dunia dikuasai laki-laki, juga saya tidak setujui. Kenapa, karena pada faktanya kekuasaan yang otoriter dari laki-laki itu tidak terjadi di keluarga saya, bahkan kakek nenek saya yang katakanlah berpendidikan rendah. Bahwa " rasa gender" bagi saya merupakan sesuatu yang alamiah. Yang ada di setiap manusia, yang suka akan kebaikan dan kebenaran. Maka teori yang menganggap perempuan disubordinasi saya tidak mempercayainya karena, Ibu saya mengajarkan saya memasak, mencuci, bahwa beban kerja domestik bukanlah tugas seorang perempuan. Tetapi tugas sebagai sebuah keluarga. Tidak ada dikotomi atau oposisi biner antara laki-laki dan perempuan.

Meskipun begitu adanya, saya melihat bahwa bias Gender ini terjadi akibat "pemahaman yang salah" yang tersistem dari individu yang berpemahaman salah.     
    
        Menggunakan apa yang disebut Michael Foucault (yang disebut discourse analysis) mengenai relasi kekuasaan yang membongkar bagaimana ada banyak penguasaan terselubung, khususnya dari jalan pengetahuan. Bahwa pengetahuan tidak pernah netral dan objektf serta bebas nilai. Orang-orang yang berprilaku bias gender sebenarnya tidak sadar bahwa mereka salah. Karena telah "memahami" sesuatu dari jalan yang "salah". Agama sebenarnya juga tidak mendukung dominasi laki-laki atas perempuan. Karena agama meninggikan derajat manusia dan keteraturannya. " Tuhan tidak melihat pakaian, badan, tetapi melihat ketakwaan" begitu dalam sebuah penggalan hadits Qudsi (perlu rujukan).

        Penekanan saya dalam tulisan ini terletak pada dua hal. Pertama, laki-laki tidak hidup sendiri, tidak melahirkan diri sendiri, maka berdasarkan hal itu laki-laki tentu bergantung pada perempuan: lebih tepatnya "saling tergantung" dalam eksitensi kehidupan. Laki-laki dan perempuan merupakan manusia yang "co-exist". Hadir bersama dan mendunia bersama. Kedua, teori-teori Gender memang baik digunakan sebagai analisis, tetapi mesti diuji kebenarannya dalam fakta, dalam masyarakat yang berbeda dari teori itu dikeluarkan. Jangan terburu-buru menyatakan "laki-laki mendominasi" atau patriarki itu salah. Sebab peran selalu bersifat konvensional. Artinya pemahaman Gender itu bukan teori yang dapat digeneralisasikan. Tetapi saya sepakat, agar laki-laki dididik mengenai itu. Sesungguhnya "hanya" membela perempuan secara radikal, justru melumpuhkan kemanusiaan sendiri. Karena yang manusia bukan hanya perempuan.

      Akhirnya pandangan saya tersebut dilihat dari sudut pandang hukum sosial, membawa kepada pemahaman bahwa hukum yang ada dalam masyarakat mengalami perubahan secara terus menerus. Karena hukum sosial yang menyebut bahwa laki-laki merupakan pemegang kendali atas perempuan, dan terus-terusan dipakai pemikiran itu, merupakan pikirian yang pesimis dan mandeg. Perempuan harus hidup di dalam kenyataan sosial. Dari kenyataan  yang berubah itu perempuan saya memiliki pandangan bahwa perempuan mampu mengubah realitasnya dengan eksis bersama laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.


Wallahu A'lam