Oleh: FCQA

Sebagai Mahasiswa yang aktif di Organisasi besar ini, banyak sekali pembelajaran yang kita dapatkan (asalkan punya tekad dalam diri dan terus menggali ilmu lewat baca, tulis, diskusi; atau, baca, diskusi, aksi). Banyak yang sudah mentas dari sini (PMII) jadi orang, minimal mereka bisa bermanfaat buat sekitarnya. Dosen-dosen seringnya berkata dan memotivasi agar mahasiswanya mengikuti dan aktif di Organisasi. Tak terkecuali Organisasi PMII.

Dari sisi kajian, apa yang tidak ada di PMII? Semuanya ada. Dari mulai, kajian Keislaman, Kebangsaan, sampai kajian yang berhaluan kiri (marx, stalin, tan malaka dan sebagainya) ada. Dari mulai kajian kitab kuning (karena anggota PMII mayoritas santri) sampai kajian filsafat: entah itu filsafat barat sampai filsafat timur, dari mulai realisme, Idealisme, Empirisme, Rasionalisme, Materialisme ikut memperkaya khasanah keilmuan anggota/kader. Tak aneh jika PMII mengambil sebuah pemikiran Kontekstualis, karena keluasan kajiannya. Atau sepintas berpemikiran Liberalis dan bertindak Tradisionalis, sebuah Paradoks yang menjadi ciri pemikiran dan sikap.

Karakteristik aksi (ekstraparlementer) tidak hilang dari zaman dahulu. Tanpa aksi, seolah-olah PMII kehilangan Ruh dan cirinya. Sifat dan Zatnya. Mungkin sebuah kewajaran dari PMII, karena menganut Paradigma Kritis Transformatif, walaupun seringkali terjebak dalam kata kritis yang tak Transformatif. Lempar batu sembunyi tangan, dalam istilah bahasa.

Anti-kemapanan dulu sempat dianut oleh PMII dan masih ada yang menganut faham ini. Jika dalam terminologi aktifis adalah faham yang menganggap bahwa kenyamanan adalah hal yang tak bisa membuat progresifitas hidup naik ke taraf yang lebih tinggi. Antitesis dari kata "Nyaman". Namun sekarang, apakah masih begitu? Jawabnya ada iya, ada tidaknya! Kenapa? Di era baru ini, bangsa kita sudah melewati berbagai fase problem sospol, dari mulai pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan yang diisi oleh Orde Lama, dilanjut dengan Orde Baru, hingga sampai saat ini era Reformasi, era yang dimana keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya.

Ada pelajaran menarik yang saya ambil saat saya berdiskusi dengan sahabat PMII. Ia berkata bahwa dulu, perjuangan kita adalah diluar, bukan dikampus. Artinya, mahasiswa dahulu memang perjuangannya adalah terjun ke masyarakat untuk mengorganisir masyarakat. Tujuannya apa? Ya menggulingkan rezim yang Otoritarianistik! Lalu apakah ini berlaku sama dengan mahasiswa pasca reformasi? Jelas tidak. Kita memahami bahwa "hukum berubah sesuai tempat dan waktu" dan "watak berubah sesuai waktu dan lingkungan". Mahasiswa sekarang bukan lagi mengorganisir masyarakat, namun tetap dituntut untuk mengabdi pada masyarakat. ada beberapa pokok yang saya bicarakan dibawah yang berkaitan dengan nasib kita.

Pertama, mahasiswa harus mengorganisir diri sendiri. Kenapa? Dalam Hadits Nabi dikatakan bahwa "Ibda Binafsika Tsumma Biman Ta'ulu" artinya "mulailah dari dirimu sendiri kemudian baru orang lain" secara maknawi hadits ini berlaku bagi orang yang ingin berbuat kebaikan. Nabi menganjurkan kita melakukannya terlebih dahulu. Mustahil aqli, seseorang tak kuat mengangkat kambing, tapi mau mengangkat kerbau. Secara logika tidak berlaku.

Seperti halnya idealisme kita ini. Kita bicara sekencang-kencangnya untuk rakyat sejahtera, bahwasanya kedaulatan rakyat itu berawal dari kedaulatan ekonomi. Tapi, pertanyaan besarnya, apakah yang memperjuangkan ini sudah berdaulat secara ekonomi? Wong merokok saja saya masih minta-minta sama senior. Disitu kadang saya merasa sedih. Jadi Hadits Nabi yang mestinya fungsional itu, belum mampu kita (saya) implementasikan secara utuh. Kita justru membaliknya, "mulai dari orang lain kemudian baru diri kita". Lalu buat apa kita ini bicara agama dan filsafat, kalau memahami dan berlogika yang seperti ini saja kita salah? Termasuk saya.

Kedua, masalah ini hampir umum, mungkin aku, kamu, kalian dan kita, mestilah problemnya ada disini. Saya memang sering membaca tentang kesadaran, tapi saya ini banyak tidak sadarnya (dalam hal berusaha loyal untuk organisasi). Seolah-olah kesadaran ini terkotak. Padahal saya harus menyadarkan diri saya bahwa hidup tidak hanya hari ini, kita akan tergilas dan terhalang batu lebih besar dikemudian hari, namun banyak sekali yang lambat menyadari.

Ketiga, kalau saya boleh berkata dan dengan perkataan ini saya berani mewakafkan tenaga fikiran waktu untuk PMII. Maka yang saya katakan: "PMII, Beri Aku Uang!" Perkataan yang sederhana dan perkataan yang timbul dari realitas, walaupun agak pragmatis. Manusia menurut saya memang makhluk pragmatis, makhluk yang menginginkan manfaat pada apa yang dia jalani dan pelajari. Tapi, saya melarang keras untuk pragmatisme yang selaku berorientasi uang. Ingat! "SELALU" berorientasi uang. Jika sekali-kali itu hal yang wajar. Toh secara psikogis jika dilihat dari perspektif Abraham Maslow dan  Sigmund Freud, manusia ini tak bisa lepas dari hal biologis atau kenikmatan isis.

Coba deh kamu fikir, salahkah tulisan saya?

Bekasi, 15 Juni 2017
20 Romadhon 1438 Hijriyah